Jumat

Menjemput Hidayah

*

_
Ihdinash-shirathal mustaqim, shirathalladzina-an`amta `alaihim… Begitulah seorang muslim melafazhkan kalimat per kalimat dua ayat saat membaca surat al Fatihah. Artinya, tunjukilah kami kepada jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat….

Seorang muslim senantiasa membacanya pada setiap raka’at shalat, saat beribadah kepada Allah. Satu isyarat yang menunjukkan, betapa pentingnya hidayah, sehingga seorang muslim harus memohonnya, minimal tujuh belas kali dalam satu hari satu malam. Hidayah itu sangat dibutuhkan, sebagaimana tubuh membutuhkan makanan dan minuman. Begitulah, hatinya juga memerlukan hidayah sebagai sarana memenuhi kebutuhannya.

Hidayah, merupakan nikmat yang dianugerahkan Allah Azza wa Jalla kepada seorang hamba. Ia merupakan salah satu nikmat yang agung dari sekian banyak nikmat. Dan nikmat hidayah, adalah nikmat yang bernilai istimewa.

Hidayah merupakan sentuhan lembut Ilahi, yang akan mengantarkan seorang hamba kepada pantai kebahagiaan. Ia merupakan wujud kasih-sayang Ilahi, sehingga seorang hamba tidak terjatuh ke dalam jurang kesalahan dan kesengsaraan. Ia menuntun seorang hamba yang dikuasai hawa nafsu, sehingga menjadi terbimbing kepada kehendak Dzat Yang Maha Kuasa. Maknanya, Allah tidak membiarkan seorang hamba berada dalam kesendirian ketika mencari kebenaran. Akan tetapi, tanganNya menuntunnya ke arah yang Dia ridhai.

Jika demikian yang terjadi pada seorang hamba, maka hal itu merupakan pertanda baik. Berarti, jejak-jejak kasih-sayang Allah sudah tampak di kalbunya. Mahabbah Allah kepadanya sedang datang menuju hatinya. Maka seorang hamba hendaklah segera menampungnya dalam kalbunya. Jangan biarkan hidayah Allah berlalu. Jangan biarkan hidayahn itu meninggalkannya, sehingga menyebabkan seorang hamba harus menunggu dan menunggu, tanpa mengetahui kapan akan datang kembali. Bisa jadi, penantian itu tidak berkesudahan.

.
CARA ALLAH AZZA WA JALLA MEMBERIKAN HIDAYAH
Allah memiliki banyak cara untuk membuat seorang hamba kembali kepada kebenaran, setelah lama ia bergumul dengan kemaksiatan. Ternyata, fitrahnya tak bisa mengingkari, bahwa tidak ada kebahagiaan, kecuali kembali kepada Allah.

Ada seorang parewa [1] yang telah banyak melakukan dosa. Salah satunya, dia telah membunuh banyak orang, hingga 99 orang. Tiba-tiba rasa kerinduan kepada kebenaran menghentaknya. Lalu pergilah ia bertanya kepada orang-orang, apakah ada yang bisa mencarikan jalan keluar terhadap permasalahan yang ia punyai. Orang-orang menunjukkannya kepada seorang ahli ibadah. Setelah bertemu dengan orang yang yang ditunjukkannya tersebut, ia pun menanyakan tentang dosa yang telah ia lakukan, yaitu membunuh 99 orang. Apakah bagi dirinya masih terbuka pintu taubat dan hidayah? Ternyata, orang yang ditanya menjawab : “Tidak,” mendengar jawaban tersebut, parewa ini serasa marah, hingga dibunuhlah seorang ahli ibadah yang ditanya ini. Menjadi lengkaplah ia membunuh 100 orang.

Sekalipun ia mengulangi dosa yang telah lalu, tetapi ternyata tidak membuatnya putus asa. Kemudian, parewa ini pun kembali mencari seseorang yang bisa memberikan jawaban terhadap masalah yang menghantui pikirannya. Dia pun bertemu dengan seorang ahli ilmu.

Bertanyalah ia : “Saya telah membunuh 100 orang. Yang terakhir saya bunuh bukanlah orang sembarangan. Dia ahli ibadah, yang mungkin di mata Allah jauh lebih mulia dari 99 orang yang telah saya bunuh sebelumnya. Apakah pintu taubat masih terbuka bagi saya?”.

Mendengar pengaduan sang pemuda ini, seorang ahli ilmu ini menjawab : “Siapakah yang dapat menghalangi antara dirimu dengan taubat?”

Mendengar penjelasan ini, Sang Pemuda mengangkat kepalanya, seakan tidak percaya mendengar dari jawaban tersebut. Wajahnya berbinar, air matanya menetes karena bahagia. Selesailah sudah pengembaraannya. Saatnya ia menghirup hari-hari bahagia. Perilaku dan perbuatan yang telah meletihkan dan menyengsarakannya, tidak akan ia ulangi lagi. Dan ia pun menuruti nasihat seorang ‘alim ini yang mengatakan : “Akan tetapi, berangkatlah engkau ke negeri yang jauh. Yaitu ke tempat orang-orang yang shalih. Jangan kembali lagi ke negerimu, karena negerimu tidak baik”.

Berangkatlah ia melangkahkan kaki meninggalkan kampung halaman. Di dalam lubuk hatinya, ia berazam untuk hijrah dari semua amal buruk menuju kebaikan.[2]

Kebanyakan orang menemukan hidayah, tatkala jiwanya sedang remuk redam disebabkan karena musibah yang sedang menimpanya. Musibah ini menumbangkan semua kesombongannya, meluluh-lantakkan ketidakpeduliannya terhadap Allah dan syari’atNya. Ketika seorang hamba sudah berada di atas jurang kehancuran, Allah menahannya, lalu menuntunnya dengan kelembutan dan kasih-sayangNya. Akhirnya, hamba yang sombong ini terselamatkan, kembali kepada jalan Allah. Ini semua dikarenakan hidayah Allah.

Dia, seperti seorang prajurit yang membelot dan berkhianat, tetapi telah kalah berperang melawan atasannya. Kemudian, dengan pakaian lusuh, wajah kotor dan berdebu, luka-luka memenuhi sekujur tubuhnya, ia kembali. Dia menyerah. Dengan menyerahkan diri secara sukarelala, ia memiliki harapan, mudah-mudahan sang atasan akan memaafkan kesalahannya.

Terkadang Allah menundukkan kesombongan seorang hamba dengan membinasakan kekayaan, yang seorang hamba ini merasa memilikinya selama ini. Kesadaran muncul setelah api besar membakar rumahnya atau istananya, dan segala kekayaan yang ia peroleh dengan menghabiskan semua waktu dan masa mudanya yang hanya untuk mengumpulkan harta.

Terkadang Allah memaksanya untuk bersujud dan membaluri keningnya dengan tanah, setelah ia kehilangan orang-orang yang dicintainya. Kadangkala Allah memberi hidayah kepada seseorang, setelah orang itu terjerat dalam kasus korupsi; setelah ia merasakan sempitnya penjara, dan pedihnya kehilangan jabatan. Maka ia tinggalkan dunia, dan ia kembali kepada Allah.

Atau terkadang Allah menimpakan penyakit kepadanya, sehingga menyebabkan dirinya terbaring lemas. Berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, ia tetap tergolek di atas kasur, setelah puluhan tahun dengan kesehatan yang dimilikinya ia melawan Allah, dengan selalu berbuat maksiat. Dia menyangka, seakan ia memiliki kekuatan.

Mereka itu adalah orang-orang beruntung. Mereka menemukan jalan kembali, setelah diberi teguran oleh Dzat Maha Pencipta.

Ada lagi manusia, yang juga menjadi mulia karena memperoleh hidayah. Yaitu orang-orang yang dihentikan pengembaraannya, disebabkan kerinduannya kepada kebenaran. Seperti perjalanan ikan solmon, ia melintasi sungai, menyeberangi lautan, mengarungi samudera, melintasi benua. Bermil-mil perjalanan telah ia tempuh. Ketika sudah tiba masanya, ada kerinduan memanggilnya untuk kembali ke fithrahnya sebagai seorang hamba, sekalipun banyak aral menghalanginya. Orang-orang itu, termasuk diantaranya adalah para sahabat yang mulia, Khalid bin Walid dan Ikrimah bin Abu Jahal.

Khalid, seorang ksatria, panglima yang tidak pernah terkalahkan, hamba Allah Azza wa Jalla yang tawadhu, pemilik jiwa besar, karena dia memang orang besar. Semuanya tentu mengetahui, apa yang telah ia perbuat terhadap kaum Muslimin di perang Uhud. Dengan ketajaman pandangannya, ia dapat merubah kekalahan menjadi kemenangan untuk Quraisy. Yang ini sebagai kemenangan pertama dan terakhir bagi mereka. Sang ksatria ini, hampir pada semua tempat dan dimanapun berada, dia selalu menunjukkan permusuhan terhadap Islam dan kaum Muslimin. Akan tetapi, cahaya hidayah telah mengubahnya. Sebelum penaklukan Mekkah, ia mengajak kawan karibnya, yaitu ‘Amr bin Ash untuk berangkat menuju Madinah, dengan tujuan meyatakan keislaman.

Berangkatlah mereka dengan ‘azam (tekad) yang telah kuat. Dan tetaplah ia berlaku sebagai ksatria dari Quraisy. Setibanya di Madinah, ia pun mengutarakan keinginannya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulurkan tangan kepadanya, maka Khalid bin Walid menarik kembali tangannya, seraya berucap : “Dengan syarat, wahai Nabi Allah Azza wa Jalla, agar Allah Azza wa Jalla menghapuskan segala perbuatanku semasa jahiliyah”. Bagaimanakah Rasulullah menanggapi permintaannya? Beliau n tersenyum dan berkata,”Apakah engkau belum mengeri, wahai Khalid? Sesungguhnya Islam menghapuskan semua perbuatan engkau sebelum ini!”

Alangkah indah pembicaraan tersebut, penuh dengan pemahaman, kebeningan, keteduhan, ketulusan dan kejujuran. Menggetarkan setiap muslim yang mendengarnya, apalagi yang menghadirinya. Bagaimanakah peristiwa ini bisa terulang kembali oleh pendengaran kita pada zaman kita sekarang ini?

Adapun Ikrimah, dia adalah orang yang ikut serta mengusir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekkah beberapa tahun yang lalu. Setelah Mekkah dikuasai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ikrimah mencoba lari dari kenyataan. Dia seberangi lautan. Dia lintasi lautan padang pasir. Dalam kesendiriannya, ia coba tinggal di negeri orang. Dia mencoba menahan diri dari dorongan kembali kepada kebenaran. Telah ia coba. Akan tetapi, ternyata panggilan itu begitu kuat. Keinsafan menghinggapi hari-harinya. Maka, ia mencoba untuk melangkahkan kaki pulang, menyatakan kelemahan diri dan mengantarkan kepasrahan jiwa.

Disebutkan oleh Ibnu Hajar, ketika Ikrimah dalam pelarian, di sebuah bahtera, datanglah badai, lalu orang-orang yang berada dalam bahtera itu berteriak : “Ikhlaskan niat kalian kepada Allah. Sesungguhnya Tuhan (berhala) kalian tidak mendatangkan manfaat sedikitpun,” sehingga tenanglah badai itu, lalu ia berkata,”Ya Allah, jika keikhlasan yang menyelamatkanku di lautan, tentu ia juga yang akan menyelamatkanku di daratan. Demi Allah, aku berjanji, jika aku selamat dari kejadian ini, aku akan mendatangi Muhammad, dan aku letakkan tanganku di atas tangannya.[3]

Itulah satu contoh datangnya hidayah, yang kemudian diraihnya.

Ada lagi, yang dalam mendapatkan hidayah, mereka memperolehnya melalui pencarian yang cukup melelahkan. Berpindah dari satu ajaran kepada ajaran lain. Dari agama satu kepada agama lain. Hingga akhirnya, diapun memperoleh apa yang diinginkan. Contoh yang tepat untuk golongan ini adalah Salman al Farisi.

Yang juga sangat luar biasa, sebagai bukti kasih-sayang Allah terhadap hambaNya, yakni golongan yang seolah sudah masuk dalam katagori yang tidak mungkin ada harapan untuknya. Seakan tidak ada denyut kebenaran dalam hatinya. Seolah hatinya benar-benar telah mati, lalu rahmat Allah mendahuluinya, dan iapun memperoleh hidayah. Contoh dari golongan ini adalah Umar bin Khaththab.

Tentang dirinya diturunkan ayat dalam surat al An`am ayat 122, Allah berfirman.

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan” [al-An'am : 122].

Inilah permisalan dari Allah untuk seorang hamba, yang pada mulanya hatinya terpuruk dalam kesesatan, lalu Allah menghidupkan kembali hatinya. Yang tadinya gersang, Dia segarkan dengan iman. Allah memberinya petunjuk untuk mengikuti RasulNya. Dia memasukkannya kepada Islam, agama penyerahan diri. Saat itu, ia telah mulai mengerti hal-hal yang bermanfaat dan membahayakan dirinya. Ia pun berusaha untuk melepaskan diri dari kemurkaan dan hukuman Allah Azza wa Jalla. Pandangannya mulai mengenal kebenaran, yang sebelumnya ia tidak bisa melihatnya. Ia sudah mulai belajar, yang sebelumnya ia buta. Dan ia sudah mulai belajar pula untuk mengikuti syari’at Allah, yang sebelumnya ia berpaling darinya. Sampailah ia memperoleh cahaya hidayah. Dengan cahaya itu, ia dapat menggunakannya untuk menerangi perjalanannya kepada Allah Azza wa Jalla, di tengah kegelapan manusia.[4]

.
MUARA KEBENARAN
Para ulama mengatakan, semua perbuatan badan, yang lahir darinya perbuatan baik maupun perbuatan buruk, amal shalih maupun amal thalih, hakikatnya dikuasai oleh satu komando, yaitu hati atau qalbu. Ibarat raja, qalbu memiliki kekuasaan terhadap bala tentaranya. Semua tindakan berada di bawah perintah dan larangannya. Ia dapat menggunakan sekehendaknya. Semua di bawah kuasa dan penuh pengabdian kepadanya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh. Ingatlah, itulah hati” [5]

Hidup dan bercahayanya hati, berarti merupakan pertanda jika dirinya telah memiliki modal untuk meraih segala kebaikan. Begitu pula sebagaimana mati dan gelapnya hati, itu merupakan pertanda jika ia memiliki dasar keburukan.

Oleh karenanya, hati yang bisa merengkuh hidayah Allah Azza wa Jalla, baik ia sendiri yang melangkah, atau hidayah yang mendekatinya, atau sebab tertentu kemudian Allah k berbuat atas diri hambaNya sesuai dengan keinginan dan kehendakNya, maka hati yang seperti ini, berarti hati tersebut masih dalam kategori hidup, dan hati tersebut masih mempunyai cahaya, meskipun redup.

Dengan hidupnya hati, berarti menunjukkan semua perangkat tubuhnya masih aktif, baik pendengaran maupun penglihatannya, malu dan jati dirinya. Begitu pula ia masih memiliki semua akhlak yang mulia, cinta kepada kebaikan dan rasa benci kepada keburukan.

Hati yang baik, juga ibarat magnit. Semakin kuat kadar magnitnya, maka akan semakin kuat pula hidayah melekat kepadanya, atau ia sendiri yang melekat kepada hidayah.

Berbeda dengan hati yang mati. Sedikit demi sedikit telah meninggalkan unsur magnit, sebab maksiat yang sedang berproses pada hatinya telah merubahnya menjadi unsur lain, yang tidak lagi dapat menarik hidayah. Bahkan ia tidak dapat mendeteksi dan mengenalinya sama sekali.

Hati inilah yang menjadi kebahagiaan atau kesengsaraannya di dunia. Hati jugalah yang membuat akhir kehidupan hamba di dunia ditutup dengan husnul khatimah atau su-ul khatimah.

Dari ‘Abdullah bin Mas`ud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

فَوَالَّذِي لَا إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ [في رواية - فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ] حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ [في رواية - فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ] حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا

“Dan demi Dzat yang tidak ada yang berhak diibadahi selainNya, sesungguhnya seseorang beramal dengan amalan penduduk surga [dalam riwayat lain : yang nampak oleh manusia], sampai tidak ada jarak antara dia dengan surga, kecuali tinggal satu hasta. Kiranya kitab (taqdir) telah mendahuluinya. Lalu ia beramal dengan amalan penduduk neraka, sehingga ia masuk ke dalamnya. Dan seseorang beramal dengan amalan penduduk neraka [dalam riwayat lain : yang nampak oleh manusia], sampai tidak ada jarak antara dia dengan neraka, kecuali tinggal satu hasta. Kiranya kitab (taqdir) telah mendahuluinya. Lalu ia beramal dengan amalan penduduk surga, sehingga ia masuk ke dalamnya”.[6]

Ibnu Rajab berkata,”(SAbda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “yang nampak oleh manusia) ini memberikan adanya petunjuk, bahwa (perkara) batin tidak sesuai dengan lahirnya. Bahwa su`ul khatimah terjadi karena tersembunyinya dosa yang tidak terlihat oleh manusia, baik dari sisi amalan buruk maupun yang lainnya. Sifat yang tersembunyi tersebut mengantarakannya kepada su`ul khatimah ketika dekat kematian. Begitu juga seseorang beramal dengan amal penduduk neraka, lalu pada akhir hidupnya sifat yang tersembunyi itu mengalahkan amalan buruknya, yang menyebabkannya mendapat husnul khatimah.” [7]

Ibnu Daqiqil ‘Id rahimahullah mengatakan, akan tetapi hal seperti ini jarang terjadi, disebabkan kasih-sayang Allah dan keluasan rahmatNya; perubahan manusia dari yang buruk kepada yang baik banyak terjadi. Sedangkan perubahan seseorang dari yang baik kepada yang buruk, sangat langka ditemukan. Segala puji untukNya atas itu semua. [8]

Ya Allah k Azza wa Jalla ! Hiasilah kami dengan hiasan iman. Jadikanlah kami pemberi petunjuk untuk manusia yang telah Engkau beri hidayah, tidak sesat dan menyesatkan. Jadikanlah kami untuk tetap mencintai orang yang mencintai karenaMu.
.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
.
_______
Footnote
[1]. Parewa adalah bahasa Minang. Yaitu pemuda yang hidupnya bergelimang dosa dan maksiat, akan tetapi masih memiliki iman dan merasa segan terhadap orang yang taat beragama.
[2]. HR Bukhari, 6/512; Muslim, no. 2766, dari Sa`ad bin Malik bin Sinan.
[3]. Ash-Shabah, 4/538.
[4]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2/231 dan Ighatsul Lahfan, Ibnul Qayyim, halaman 26.
[5]. HR Bukhari, 1/126, no. 52; Muslim, 11/57, no. 1599, dari hadits Nu’man bin Basyir.
[6]. HR Bukhari, 6/303, no. 3208, 3332, 6594; Muslim no. 2643.
[7]. Jami` Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab, 1/57.
[8]. Syarh Arba’in an Nawawiyah, Ibnu Daqiqil-’Id, 1/31.

Menebar Sunnah di Pangkep

Profil Ma’had Riyadus Sholihin Pangkep

Mungkin bisa dikatakan bahwa pondok ini adalah pondok ahlussunnah pertama di Sulawesi Selatan. Didirikan tahun 1999 dengan berlokasi di Kabupaten Pangkep (sekitar 50 KM dari kota Makassar). Kesan sejuk dan terasa alami akan kita dapatkan ketika masuk ke lokasi pondok ini. Pohon-pohon tampak rindang mengelilingi mesjid dan asrama para santri. Kesan alam pun akan semakin terasa dengan adanya kebun-kebun yang dikelola oleh para santri ikhwan dan akhwat (masing-masing mempunyai kebun sendiri).
Berikut ini adalah info lengkap tentang Ponpes Riyadus Sholihin Pangkep (dulu bernama Ponpes Darul Mufassirin)
A. Alamat Pondok
Jl. Wirakrya No. 1 – 5 Minasate’ne [LIHAT PETA] [FOTO]
Kab. Pangkep 90814 SUL-SEL
Telp : 0410 – 323855
B. Struktur Pengurus
Pimpinan Pondok : Ustadz Abdurrahim
Pimpinan Program Tadribud Du’aat : Ustadz Azhari Asri
Pimpinan Program Tarbiyatun Nisaa’: Ustadz Muhammad
Pimpinan Program Tahfidz Putri : Ustadzah Ummu Raihana
C. Pengajar
– Ustadz Azhari
– Ustadz Abdurrahim
– Ustadz Muhammad
Staff Pengajar Khusus Santri Putri
– Ummu Abdillah Zahrah
– Ummu Faturrahman Salmiah
– Ummu ‘Ali Lathifah
– Ummu ‘Abdirrahman Khadijah
– Ummu Sulaim Shafiyyah
– Ummu Ishaq Husnul Khatimah
– Ummu ‘Abdillah Humayrah
– Fathimah Ummu Raihana (Mudirah)
E. Program Pendidikan
1. Program Tarbiyatud Du’aat
Deskripsi : Mendidik da’i-dai sesuai Quran dan Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik umat ini (Salafush Shalih)
a. Syarat Pendidikan
- Umur 15 tahun keatas
- Bisa baca dan tulis Al-Qur’an
- Sehat Jasmani dan Rohani
- Harus ada izin dari orang tua/wali
- Memperlihatkan tanda pengenal/KTP (untuk umur 17 tahun keatas)
b. Fasilitas
– Masjid
– Asrama
– Perpustakaan
– Listrik & Air Bersih
– Biaya pendidikan gratis
– Makan gratis
– Ruang belajar
2. Program Tarbiyatun Nisaa’
Deskripsi :
Mendidik wanita-wanita muslimah sehingga dapat menjadi wanita yang sholihah yang bermanfaat bagi agama, keluarga, dan kaum muslimin.

a. Syarat Pendidikan
– Umur 15 tahun keatas
– Muslimah
– Membawa mahrom
– Mengisi formulir pendaftaran
– Bersedia diasramakan
b. Fasilitas
– Asrama
– Bebas SPP
– Perpustakaan
– Listrik dan air bersih
NB : Untuk makanan diatur sendiri biayanya oleh santri yang bersangkutan
3. Program Tahfidz Putri
Deskripsi : Mendidik generasi-generasi muslimin yang cinta Quran, mengamalkan dan mengajarkannya
a. Syarat Pendidikan
– Umur 6 – 12 tahun (setingkat SD)
– Umur 13 – 15 tahun (setingkat SLTP)
– Muslimah
– Sehat jasmani dan rohani
– Sudah bisa mandiri
– Bersedia diasramakan
- Mengisi Formulir Pendaftaran
b. Fasilitas
- Asrama lengkap dengan MCK
– Tempat tidur
– Ruang belajar
– Listrik dan Air bersih
– Perpustakaan
– Pakaian dicucikan
– Pengobatan bagi yang sakit
– Kunjungan orang tua sekali dalam sebulan

c. Biaya Pendidikan
- Pendaftaran Rp 20.000
- Biaya pangkal, sarana, dan prasarana dapat diangsur Rp 150.000
- Biaya perbulan Rp 150.000 (makan dan snack)
d. Ekstrakurikuler
- Olahraga
- Ketrampilan tangan
Sumber : Ringkasan wawancara dengan Ustadz Muhammad (af)
4. Program Tahfidz Putra
Deskripsi : Program ini bertujuan untuk mendidik anak agar supaya mereka dapat mengenal dan menghafal Al-Qur’an dari usia dini.
a. Syarat Pendidikan
– Umur max 15 tahun
– Sehat Jasmani dan Rohani
– Bisa membaca Al-Qur’an
– Membawa wali
b. Fasilitas :
– Biaya makan dan pendidikan gratis
– Asrama
– Pengawasan selama di pondok
Sumber : Ringkasan wawancara dengan Ustadz Yamin (af)

Al Qur'an tak bisa diMadu..

Pernah sekali waktu saya bertanya pada diri sendiri , dosa apa yang telah saya lakukan hingga saya begitu susah untuk fokus,bukan hanya susah fokus, saya juga pelupa. 

Lupa atau dibuat lupa?,Beberapa tahun terakhir ini saya selalu menyertakan "tambah hafalan Alquran" dalam resolusi tahunan atau momen hari kelahiran namun sayang tak kunjung berhasil.begitu bersemangat di awal.semangat yang tak terjaga.Layu sebelum berkembang.hari ini hafal ,besoknya dibuat lupa.alhasil tak bertambah,malah berkurang. 

Saya pernah mengadukan hal ini kepada senior yang hafalannya membuat saya takjub.kemudian beliau menceritakan kisah imam syafi'i yang pernah mengadukan keburukan hafalannya.
 
Imam Syafi`i berkata" 
“Aku mengadukan perihal keburukan hafalanku kepada guruku, Imam Waki’ bin Jarrah. Guruku lalu berwasiat agar aku menjauhi maksiat dan dosa. Guruku juga berkata, ‘Muridku, ketahuilah bahwa Ilmu itu adalah cahaya.Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang-orang yang suka berbuat maksiat."



Al Qur'an tak bisa diMadu!,Hafalan Al Qur'an tak akan bisa bersama-sama maksiat(ini kata senior saya yang lain). Maksiat akan memendarkan ilmu dari Hati kita.Rightt?,kalau tak percaya,jangan dicoba!

Untuk memudahkan kita dalam menghafal, ada syarat-syarat yang harus kita pegang kuat-kuat, yaitu:

  1. Beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
  2. Berniat mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menjadi hamba-hamba pilihan-Nya yang menjaga Al-Qur’an
  3. Istiqomah (teguh hati).
  4. Menguasai bacaan al-qur’an dengan benar, baik tajwid maupun makharij setiap huruf.
  5. Adanya seorang pembimbing dari ustad/ustadzah (al-hafidz/al-hafidzah).
  6. Minimal sudah pernah khatam Al-Qur’an 20 kali (dengan membaca setiap ayat 5 kali).
  7. Konsisten menggunakan satu jenis mushaf al-qur’an (al-qur’an pojok).
  8. Konsisten menggunakan pensil/bolpen/stabilo sebagai pembantu.
  9. Memahami ayat yang akan dihafal

Ada tiga tahap utama yang harus dilakukan seorang penghafal Al-Qur’an, yaitu:

  1. Persiapan (isti’dad)
    Kewajiban utama penghafal al-qur’an adalah harus menghafalkan setiap harinya minimal satu halaman dengan tepat dan benar dengan memilih waktu yang tepat untuk menghafal. Contohnya:
    1. Sebelum tidur malam, lakukan persiapan terlebih dahulu dengan membaca dan menghafal satu halaman secara cepat (jangan langsung dihafal secara mendalam).
    2. Setelah bangun tidur hafalkan satu halaman tersebut dengan hafalan yang mendalam dengan tenang lagi konsentrasi.
    3. Ulangi terus hafalan tersebut (satu halaman) sampai benar-benar hafal diluar kepala.
  2. Pengesahan (tashih/setor)
    Setelah melakukan persiapan secara matang dengan selalu mengingat-ingat suatu halaman tertentu, berikutnya tashihkan (setorkan) hafalan kita kepada ustad/ustadzah. Setiap kesalahan yang telah ditunjukkan oleh ustad, lakukan hal-hal berikut:
    1. Berikan tanda kesalahan dengan mencatatnya (dibawah atau diatas huruf yang lupa)
    2. Ulangi setoran sampai dianggap benar oleh ustad.
    3. Bersabarlah untuk tidak menambah materi dan hafalan baru kecuali materi dan hafalan lama benar-benar sudah dikuasai dan disahkan.
  3. Pengulangan (muroja’ah/penjagaan)
    Setelah setor, jangan meninggalkan tempat (majelis) untuk pulang sebelum hafalan yang telah disetorkan diulangi lagi beberapa kali terlebih dahulu (sesuai dengan anjuran ustad/ustadzah) .*(Hasil pencaarian di mbah google)
Sebagai penutup,dibawah ini ada beberapa adab-adab dalam membaca Al-Qur'an. InsyaAllah menjaga adab-adab ini dapat membantu menjaga hafalan kita.Semoga.cekidout..
  1. Membaca Al Qur'an dengan mengikhlaskan niat hanya kepada Allah karena membacanya adalah salah bentuk ibadah yang agung.
  2. Membaca Al-Qur'an dengan sepenuh hati, sebab Al-Qur'an adalah firman Allah.
  3. Tidak membaca Al Qur'an ditempat-tempat kotor dan bising
  4. Meminta perlindungan kepada Allah saat hendak membaca Al Qur'an
  5. Membaca Al Qur'an secara Tartil 
  6. Melakukan sujud tilawah pada saat membaca ayat sajdah.*sumber adab-adab:buku majelis bulan Ramadhan 

Siapakah 10 Sahabat yang di jamin Masuk Surga!


Suatu hari setelah Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam selesai shalat subuh, beliau menghadap ke arah sahabatnya dan bertanya, “Siapa di antara kalian yang berpuasa hari ini?”

Umar menjawab, “Wahai Rasulullah, saya tidak berniat puasa tadi malam, maka pagi ini saya berbuka.”

Abu Bakar berkata, “Tapi sempat berniat puasa tadi malam, sehingga pagi ini saya puasa.”

Rasulullah bertanya lagi, “Apakah ada di antara kalian yang hari ini telah menjenguk orang sakit?”

Umar menjawab, “Wahai Rasulullah, kami belum keluar, bagaimana kami menjenguk orang sakit?”

Abu Bakar berkata, “Aku mendapat kabar bahwa saudaraku Abdurrahman bin Auf sakit, maka saya sempat mampir ke rumahnya untuk mengetahui keadaannya pagi ini.”


Rasulullah kembali bertanya, “Siapa di antara kalian yang telah memberi makan fakir miskin?”

Umar menjawab, “Kami baru saja shalat wahai Rasulullah dan belum pergi kemana-mana.”

Abu Bakar berkata, “Saat saya hendak masuk masjid, ada pengemis yang sedang meminta-minta. Kebetulan ada sepotong roti di tangan Abdurrahman (Putra Abu Bakar), maka saya ambil dan saya serahkan pada pengemis tadi.”

Rasulullah lantas berkata, “Bergembiralah engkau (Abu Bakar) dengn jaminan surga.

Dialog ringan Rasulullah dengan para sahabat seperti di atas menggambarkan bahwa para sahabat biasa berlomba-loma dalam kebaikan. Ingin selalu menjadi yang terbaik dan pertama kali. Mereka tidak ingin hari-hari mereka diisi tanpa prestasi amal shalih. Lihat saja Abu Bakar dan Umar. Mereka saling berebut dalam kebajikan. Selalu ada ide dan selalu ingin paling awal. Itulah potret kehidupan para sahabat Nabi.

Karenanya, wajar bila Rasulullah memberi kabar gembira kepada Abu Bakar dengan surga. Kabar yang tiada terkira bahagiannya. Dijamin masuk surga. Tempat yang diidam-idamkan seluruh manusia. Sayangnya, tak banyak yang mendapat jaminan itu. Setidaknya, selain Abu Bakar, ada sembilan lagi sahabat yang dijamin surga.

Mereka adalah Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Ubaidah bin Jarrah,  Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’id bin Zaid, dan Sa’ad bin Abi Waqqash.

Kesepuluh sahabat tersebut tentunya bukan sembarang orang. Mereka memiliki kemuliaan yang lebih dari yang lain. Perjuangan dan pembelaan mereka terhadap Islam tidak diragukan lagi. Harta bahkan jiwa dan raga mereka disumbangkan seluruhnya demi tegaknya Islam di bumi ini.

Abu Bakar, Umar bin Al Khathtab dan sahabat lainnya adalah sosok generasi terbaik di masa awal Islam. Ketika mereka ikut Nabi hijrah dari Mekkah ke Madinah (Yastrib), mereka adalah kalangan muhajirin yang terbaik. Di saat perang Badar, mereka juga tentara terbik. Mereka mempertaruhkan nyawa mereka demi Islam.

Tidak hanya itu, empat dari mereka Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib adalah khalifah pascafawatnya Rasulullah. Sedangkan yang lainnya adalah pemuka ahlu al hall wal ‘aqd, menteri kepercayaan khalifah, panglima perang,  pelopor kemuliaan, dan pemimpim pembebasan wilayah.

Dari kesepuluh sahabat tersebut, ada hal menarik dari salah satu mereka, dialah Abu Bakar. Sahabat yang memiliki umar tak berbeda jauh dari Rasulullah ini mendapat gelar Ash Shiddiq (Orang yang selalu membenarkan). Gelar ini disematkan kepada lelaki berwajah tampan dan putih ini lantaran membenarkan setiap kali ucapan Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam.

Julukan itu semakin melekat kepadanya sesaat setelah Rasulullah melakukan Isra-Mi’raj. Kala itu, ia didatangi kelompok musyrik dan ditanya, “Apa pendapatmu tentang cerita teman-temanmu itu? Ia mengaku telah diperjalankan tadi malam ke Baitul Maqdis!”.

Abu Bakar balik bertanya, “Dia mengatakan itu?” Mereka serempak mengiyakan. Abu Bakar berkata, “Kalau begitu dia benar! Seandainya ia mengatakan lebih dari itu tentang kabar dari langit, saya pasti akan membenarkannya, baik yang telah lalu maupun yang akan datang. Tidak hanya itu, Abu Bakar juga berkata, “Jika Nabi Shallahu Alaihi Wassalam berkata, maka ia benar”.

Senin

Pembunuhan Husain bin Ali bin Abu Thalib

Banyak sekali bertebaran kisah-kisah tentang terbunuhnya Husain dari berbagai sumber terutama dari kalangan Syiah. Pada kesempatan kami memposting artikel yang bersumber dari beberapa tulisan yang telah ada dengan mendasarkan pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah dan juga Muridnya ibnu Katsir dalam kitabnya Al bidayah Wannihayah disertai sumber-sumber otentik dari hadits-hadits dan atsar yang telah sah.

Isyarat akan terbunuhnya Husain

Jauh hari sebelum Husain terbunuh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bercerita Kepada Ali bin Abi Thalib bahwa Husain akan wafat dalam keadaan terbunuh. Adz-Dzahabi rahimahullah membawakan dari dari ‘Ali, ia berkata:

“Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kedua mata beliau bercucuran air mata, lalu beliau bersabda: “Jibril baru saja datang, ia menceritakan kepadaku bahwa Husain kelak akan mati dibunuh. Kemudian Jibril berkata: “Apakah engkau ingin aku ciumkan kepadamu bau tanahnya?”. Aku menjawab: “Ya. Jibril lalu menjulurkan tangannya, ia menggenggam tanah satu genggaman. Lalu ia memberikannya kepadaku. Sehingga karena itulah aku tidak kuasa menahan air mataku”.[1]

Kronologi terbunuhnya Husain Radiyallahu anhu

Ketika Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu resmi menjadi khalifah, maka Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu juga sangat memuliakannya, bahkan sangat memperhatikan kehidupan Husain Radhiyallahu ‘anhu dan saudaranya, sehingga sering memberikan hadiah kepada keduanya. Tetapi, ketika Yazid bin Mu’awiyah diangkat sebagai khalifah, Husain Radhiyallahu ‘anhu bersama Ibnu Zubair Radhiyallahu ‘anhu termasuk yang tidak mau berbai’at. Bahkan penolakan itu terjadi sebelum Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu wafat ketika Yazid sudah ditetapkan sebagai calon khalifah pengganti Mu’awiyah.

Oleh karena itu, beliau berdua keluar dari Madinah dan lari menuju Mekah. Kemudian keduanya menetap di Makkah. Ibnu Zubair Radhiyallahu ‘anhu menetap di tempat shalatnya di dekat Ka’bah, sedangkan Husain Radhiyallahu ‘anhu di tempat yang lebih terbuka karena di kelilingi banyak orang.

Selanjutnya, banyak surat yang datang kepada Husain Radhiyallahu ‘anhu dari penduduk Irak membujuk beliau supaya memimpin mereka. Menurut isi surat, mereka siap membai’at Husain Radhiyallahu ‘anhu.dan surat-surat itu diantaranya juga berisi pernyataan gembira atas kematian Muawiyah Radhiyallahuanhu.[2]

kita ketahui penduduk Irak bahkan hinggan saat ini memang banyak diwarnai oleh pemikiran Rafidah (syiah) dan khawarij

Tidak cukup dengan surat saja, mereka terkadang mendatangi Husain radhiyallahu ‘anhu di Makkah, mengajak Beliau radhiyallahu ‘anhu berangkat ke Kufah dan berjanji akan menyediakan pasukan[3]. Para Sahabat seperti Ibnu Abbâs radhiyallahu ‘anhuma kerap kali menasehati Husain radhiyallahu ‘anhu agar tidak memenuhi keinginan mereka, karena ayah Husain radhiyallahu ‘anhu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dibunuh di Kufah dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu khawatir mereka membunuh Husain radhiyallahu ‘anhu juga disana.

Saat hendak berangkat dari Mekah menuju Irak, di negeri tempat beliau terbunuh, Husain Radhiyallahu ‘anhu meminta nasehat kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.

Maka, Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ‘anhma berkata: “Kalaulah tidak dipandang tidak pantas, tentu aku kalungkan tanganku pada kepalamu (maksudnya hendak mencegah kepergiannya)”.

Maka Husain Radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Sungguh jika aku terbunuh di tempat demikian dan demikian, tentu lebih aku sukai daripada aku mengorbankan kemuliaan negeri Mekah ini” [4]

Husain Radhiyallahu ‘anhu akhirnya tetap berangkat menuju Irak setelah sebelumnya mengutus Muslim bin ‘Aqil bin Abi Thalib ke Irak untuk mengadakan penyelidikan, dan akhirnya mendapat berita bahwa beliau harus segera ke Irak.[5]

Namun, ketika Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma tiba di Madinah, beliau mendengar berita bahwa Husain sedang menuju ke Irak. Mengingat betapa bahayanya Irak bagi Husain Radhiyallahu ‘anhuma, maka Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pun menyusulnya untuk menyarankan agar Husain mengurungkan niatnya. Tetapi, karena harapan-harapan yang diberikan oleh orang-orang Irak, maka Husain tetap pada pendiriannya untuk berangkat ke Irak. Maka Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pun dengan berat hati melepaskannya setelah sebelumnya memeluk Husain Radhiyallahu ‘anhu dan mengucapkan kata perpisahan. Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata:

“Aku titipkan engkau kepada Allah dari kejahatan seorang pembunuh”.[6]

Demikianlah, akhirnya Husain bin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhuma tetap berangkat ke Irak

Sebagian riwayat menyatakan bahwa Beliau radhiyallahu ‘anhu mengambil keputusan ini karena belum mendengar kabar tentang sepupunya, Muslim bin ‘Aqil, yang telah dibunuh disana.

Akhirnya, berangkatlah Husain radhiyallahu ‘anhu bersama keluarga menuju Kufah.

Sementara di pihak yang lain, ‘Ubaidullah bin Ziyâd diutus oleh Yazid bin Muawiyah untuk mengatasi pergolakan di Irak. Akhirnya, ‘Ubaidullah dengan pasukannya berhadapan dengan Husain radhiyallahu ‘anhu bersama keluarganya yang sedang dalam perjalanan menuju Irak. Pergolakan ini sendiri dipicu oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan Husain radhiyallahu ‘anhu. Dua pasukan yang sangat tidak imbang ini bertemu, sementara orang-orang Irak yang (telah) membujuk Husain radhiyallahu ‘anhu, dan berjanji akan membantu dan menyiapkan pasukan justru melarikan diri meninggalkan Husain radhiyallahu ‘anhu dan keluarganya berhadapan dengan pasukan ‘Ubaidullah. Sampai akhirnya, terbunuhlah Husain radhiyallahu ‘anhu sebagai orang yang terzhalimi dan sebagai syahid. Kepalanya dipenggal lalu dibawa ke hadapan ‘Ubaidullah bin Ziyâd dan kepala itu diletakkan di bejana.

Dalam tragedi mengenaskan ini, di antara Ahlul Bait yang gugur bersama Al Husain adalah putera Ali bin Abi Thalib lainnya; Abu Bakar bin Ali, Umar bin Ali, dan Utsman bin Ali.

Demikian pula putera Al Hasan, Abu Bakar bin Al Hasan. Namun anehnya, ketika Anda mendengar kaset-kaset, ataupun membaca buku-buku Syiah yang menceritakan kisah pembunuhan Al Husain , nama keempat Ahlul Bait tersebut tidak pernah diungkit. Tentu saja, agar orang tidak berkata bahwa Ali memberi nama anak-anak beliau dengan nama-nama sahabat Rasulullah ; Abu Bakar, Umar, dan ‘Utsman. Tiga nama yang paling dibenci orang-orang Syiah.

Kemana perginya para pengirim ratusan surat itu? Mana 12.000 orang yang katanya akan berbaiat rela mati bersama Al Husain ?
Mereka tidak memberikan pertolongan kepada Muslim bin Uqail, utusan Al Husain yang beliau utus dari Makkah ke Kufah. Tidak pula berperang membantu Al Husain melawan pasukan Ibnu Ziyad. Maka tak heran jika sekarang orang-orang Syiah meratap dan menyiksa diri mereka setiap 10 Muharram, sebagai bentuk penyesalan dan permohonan ampun atas dosa-dosa para pendahulu mereka terhadap Al Husain .

Tidak mengherankan kalau Ibnu Umar menyalahkan penduduk irak sebagai pembunuh Husain dalam sebuah atsar yang diriwayatkan Oleh Al Imam Al bukhari haditss no. 3470
 

‏ ‏ ‏عن ‏ ‏ابن أبي نعم ‏ ‏قال كنت شاهدا ‏ ‏لابن عمر ‏ ‏وسأله رجل عن دم البعوض فقال : ممن أنت ؟ فقال : من ‏ ‏أهل ‏ ‏‏العراق ، ‏قال انظروا إلى هذا يسألني عن دم البعوض وقد قتلوا ابن النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ،‏ ‏وسمعت النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏يقول ‏ ‏هما ريحانتاي من الدنيا

‏ Dari ibnu Abi Nuaim, dia berkata:” saya menyaksikan Abdullan bin Umar ketika ditanya oleh seseorang tentang darah nyamuk, Maka ibnu umar bertanya: “engkau darimana? Dia menjawab:”dari irak, Maka ibnu Umar berkata:”Lihatlah orang ini! Dia bertanya kepadaku tentang darah nyamuk padahal mereka telah membunuh cucu Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam, Aku telah mendengar Rasullullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:”mereka berdua adalah Bunga rahanku didunia.

Kisah Kepala Husain

Riwayat yang paling shahih tentang kepala Husain telah dibawakan oleh Imam al-Bukhâri, nomor 3748:

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنِي حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أُتِيَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ بِرَأْسِ الْحُسَيْنِ فَجُعِلَ فِي طَسْتٍ فَجَعَلَ يَنْكُتُ وَقَالَ فِي حُسْنِهِ شَيْئًا فَقَالَ أَنَسٌ كَانَ أَشْبَهَهُمْ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مَخْضُوبًا بِالْوَسْمَةِ

“Aku diberitahu oleh Muhammad bin Husain bin Ibrâhîm, dia mengatakan; aku diberitahu oleh Husain bin Muhammad, kami diberitahu oleh Jarîr dari Muhammad dari Anas bin Mâlik radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan; ‘Kepala Husain dibawa dan didatangkan kepada ‘Ubaidullah bin Ziyâd. Kepala itu ditaruh di bejana. Lalu ‘Ubaidullah bin Ziyâd menusuk-nusuk (dengan pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan Husain. Anas radhiyallahu ‘anhu mengatakan; ‘Diantara Ahlul-Bait, Husain adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Saat itu, Husain radhiyallahu ‘anhu disemir rambutnya dengan wasmah (tumbuhan, sejenis pacar yang condong ke warna hitam).

Lalu ‘Ubaidullah yang durhaka ini kemudian menusuk-nusuk hidung, mulut dan gigi Husain radhiyallahu ‘anhu, padahal disitu ada Anas bin Mâlik, Zaid bin Arqam dan Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu ‘anhuma. Anas radhiyallahu ‘anhu mengatakan; “Singkirkan pedangmu dari mulut itu, karena aku pernah melihat mulut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium mulut itu!” Mendengarnya, orang durhaka ini mengatakan; “Seandainya saya tidak melihatmu sudah tua renta yang akalnya sudah rusak, maka pasti kepalamu saya penggal.”

Dalam riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Hibbân dari Hafshah binti Sirîn dari Anas radhiyallahu ‘anhu dinyatakan:

“Lalu ‘Ubaidullah mulai menusukkan pedangnya ke hidung Husain radhiyallahu ‘anhu.”

Dalam riwayat ath-Thabrâni rahimahullah dari hadits Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu:

“Lalu dia mulai menusukkan pedang yang di tangannya ke mata dan hidung Husain radhiyallahu ‘anhu. Aku (Zaid bin Arqam) mengatakan; ‘Angkat pedangmu, sungguh aku pernah melihat mulut Rasulullah (mencium) tempat itu.’”

Demkian juga riwayat yang disampaikan lewat jalur Anas bin Mâlik radhiyallahu ‘anhu:

“Aku (Anas bin Malik) mengatakan kepadanya; ‘Sungguh aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium tempat dimana engkau menaruh pedangmu itu.’ Lalu Ubaidullah mengangkat pedangnya.”

Dari sini, kita mengetahui betapa banyak riwayat palsu tentang peristiwa ini yang menyatakan bahwa kepala Husain radhiyallahu ‘anhu diarak sampai diletakkan di depan Yazid rahimahullah. Para wanita dari keluarga Husain radhiyallahu ‘anhu dikelilingkan ke seluruh negeri dengan kendaaraan tanpa pelana, ditawan dan dirampas. Semua ini merupakan kepalsuan yang dibuat Rafidhah (Syiah). Karena Yazid rahimahullah saat itu sedang berada di Syam, sementara kejadian memilukan tersebut berlangsung di Irak.

Syaikhul-Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan;

“Al-Husain terbunuh di Karbala di dekat Eufrat dan jasadnya dikubur di tempat terbunuhnya, sedangkan kepalanya dikirim ke hadapan Ubaidillah bin Ziyad di Kufah.
Demikianlah yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dan dari para imam yang lain.

Adapun tentang dibawanya kepala beliau kepada Yazid telah diriwayatkan dalam beberapa jalan yang munqathi’ (terputus) dan tidak benar sedikitpun tentangnya.

Bahkan dalam riwayat-riwayat tersebut tampak sesuatu yang menunjukkan kedustaan dan pengada-adaan. Disebutkan padanya bahwa Yazid menusuk gigi taringnya dengan besi dan sebagian para shahabat yang hadir seperti Anas bin Malik, Abi Barzah dan lain-lain mengingkarinya. (tidak suka, red)

Hal ini adalah pengaburan, karena sesungguhnya yang menusuk dengan besi adalah ‘Ubaidilah bin Ziyad. Demikian pula dalam kitab-kitab shahih dan musnad, bahwasanya mereka menempatkan Yazid di tempat ‘Ubaidilah bin Ziyad. Adapun ‘Ubaidillah, tidak diragukan lagi bahwa dialah yang memerintahkan untuk membunuhnya (Husain) dan membawa kepalanya ke hadapan dirinya. Dan akhirnya Ibnu Ziyad pun dibunuh karena itu.

Dan lebih jelas lagi bahwasanya para shahabat yang tersebut tadi seperti Anas dan Abi Barzah tidak berada di Syam, melainkan berada di Iraq ketika itu.

Sesungguhnya para pendusta adalah orang-orang jahil (bodoh), tidak mengerti apa-apa yang menunjukkan kedustaan mereka.”[7]
Adapun tempat yang selama ini dianggap sebagai kuburan Husain atau kuburan kepala Husain di Syam, di Asqalan, di Mesir atau di tempat lain, maka itu adalah dusta, tidak ada bukti sama sekali. Karena semua ulama dan sejarawan yang dapat dipercaya tidak pernah memberikan kesaksian tentang hal itu. Bahkan mereka menyebutkan bahwa kepala Husain dibawa ke Madinah dan dikuburkan di sebelah kuburan Hasan

Adapun yang dirajihkan oleh para ulama tentang kepala Al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma adalah sebagaimana yang disebutkan oleh az- Zubair bin Bukar dalam kitabnya Ansab Quraisy dan beliau adalah seorang yang paling ‘alim dan paling tsiqah dalam masalah ini (tentang keturunan Quraisy). Dia menyebutkan bahwa kepala Al-Husain dibawa ke Madinah An-Nabawiyah dan dikuburkan di sana. Hal ini yang paling cocok, karena di sana ada kuburan saudaranya Al-Hasan, paman ayahnya Al-Abbas dan anak Ali dan yang seperti mereka.[8]

Komentar Ibnu Taimiyah Tentang pembunuhan Husain
“Ketika Husain bin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhuma terbunuh pada hari ‘Asyura, yang dilakukan oleh sekelompok orang zhalim yang melampaui batas, dan dengan demikian berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan Husain Radhiyallahu ‘anhuma untuk memperoleh kematian sebagai syahid, sebagaimana Allah Azza wa Jalla juga telah memuliakan Ahlu Baitnya yang lain dengan mati syahid, seperti halnya Allah Azza wa Jalla telah memuliakan Hamzah, Ja’far, ayahnya yaitu ‘Ali dan lain-lain dengan mati syahid. Dan mati syahid inilah salah satu cara Allah Azza wa Jalla untuk meninggikan kedudukan serta derajat Husain Radhiyallahu ‘anhuma. Maka, ketika itulah sesungguhnya Husain Radhiyallahu ‘anhuma dan saudaranya, yaitu Hasan Radhiyallahu ‘anhuma menjadi pemuka para pemuda Ahli sorga.” [9]

Kesyahidan Husain menurut Syaikhul Islam
“Husain Radhiyallahu ‘anhuma telah dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mati syahid pada hari (‘Asyura) ini. Dengan peristiwa ini, Allah Azza wa Jalla juga berarti telah menghinakan pembunuhnya serta orang-orang yang membatu pembunuhan terhadapnya atau orang-orang yang senang dengan pembunuhan itu. Husain Radhiyallahu ‘anhuma memiliki contoh yang baik dari para syuhada yang mendahuluinya. Sesungguhnya Husain Radhiyallahu ‘anhuma dan saudaranya (yaitu Hasan) Radhiyallahu ‘anhuma merupakan dua orang pemuka dari para pemuda Ahli sorga. Keduanya merupakan orang-orang yang dibesarkan dalam suasana kejayaan Islam, mereka berdua tidak sempat mendapatkan keutamaan berhijrah, berjihad dan bersabar menghadapi beratnya gangguan orang kafir sebagaimana dialami oleh para Ahli Baitnya yang lain. Karena itulah, Allah Azza wa Jalla memuliakan keduanya dengan mati syahid sebagai penyempurna bagi kemuliaannya dan sebagai pengangkatan bagi derajatnya agar semakin tinggi. Pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu ‘anhuma ini merupakan musibah besar. Dan Allah Azza wa Jalla mensyari’atkan agar hamba-Nya ber-istirja’ (mengucapkan innâ lillâh wa innâ ilaihi raji’ûn) ketika mendapatkan musibah dengan firman-Nya:

“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:”Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji’ûn “. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [al-Baqarah/2:155-157][10]

Semoga Kita dapat mengambil Pelajaran dari kisah ini.

ِAdapun Syi’ah dalam menyambut bulan Muharram menjadikan hari Asyuro (10 Muharram) sebagai hari berkabung, bersedih, meratap dan menyakiti badan. Mereka melakukan hal itu untuk memperingati hari terbunuhnya Husain bin Abi Thalib Rodhiallohu ‘anhu. Pada hari tersebut mereka berkabung, bersedih, menangis dan meratap bersama disertai menampar-nampar pipi (atau menyakiti anggota badan lainnya), merobek-robek pakaian dan meneriakan ucapan-ucapan berlebih-lebihan kepada Husain bin Ali bin Abi Thalib Rodhiallohu anhu . Padahal Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah memerintahkan untuk bersabar, mencari pahala dan mengembalikan diri (kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala) dari setiap musibah yang menimpa. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innaa Lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun’. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” [Al-Baqarah (2) : 155-157]
Rasululloh melarang perbuatan-perbuatan diatas;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ)

Dari Abdullah bin Mas'ud RAdialahu 'Anhu berkata: Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
“Bukan golongan kami orang yang memukuli pipi, merobek pakaian, dan berdo’a dengan do’a jahiliyah.” [HR. Bukhari dalam shahihnya, kitab al-Janā’iz, hadits no. 1294].
Dan lebih buruk pula, cerita kematian Husein pun telah mereka palsukan. Padahal mereka sendirilah yang membunuhnya. Hati-hati jangan tertipu..!!
Di dalam Islam, Asyura' tidak diisi dengan kesedihan dan penyiksaan diri (seperti syiah), tidak diisi dengan pesta dan berhias diri dan tidak diisi dengan ritual di tempat-tempat keramat atau yang dianggap suci untuk tolak bala' (Kejawen) bahkan tidak diisi dengan berkumpul-kumpul. Namun yang ada hanyalah puasa Asyura' sebagaimana Rasululloh berpuasa pada hari itu, bahkan menganjurkannya kepada para shahabatnya.
Jangan sampai seorang muslim mudah terbawa oleh budaya atau ritual agama lain dalam menjalankan ibadah pada Alloh Subhanahu wa Ta’ala Ajaran yang dibawa Rasululloh telah jelas dan sempurna tidak layak bagi kita untuk menambah atau menguranginya. Karena sebaik-baik pedoman adalah kitabulloh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk beliau, yang tidak ada keselamatan kecuali dengan berpegang kepada keduanya dengan mengikuti pemahaman para sahabat, tabi'in dan penerus mereka yang setia berpegang kepada sunnahnya dan meniti jalannya. Adapun hal-hal baru dalam masalah agama adalah sesat sedangkan kesesatan itu akan menghantarkan ke neraka, wal'iyadzubillah.(11)
Semoga bermanfaat.
--------------------------
[1] Siyar A’lâm Nubalâ (III/288-289). Pentahqiq kitab ini (Muhammad Na’im al-‘Arqasusy dan Ma’mûn Shagharjiy) mengatakan, hadits itu dan yang senada diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Thabrani dan lain-lain, sedangkan para perawinya oleh al-Haitsami dikatakan sebagai para perawi yang tsiqah.
[2] Al-Bidâyah wan Nihâyah (VIII/150)
[3] Mereka (penduduk irak) mengatakan telah menyediakan 12000 pasukan untuk mengamankan kedatangan Husain, Namun hingga Husain dipenggal kepalanya, tak ada satupun yang muncul.
[4] Siyar A’lâm Nubalâ (III/292). Pentahqiq kitab ini (Muhammad Na’im al-‘Arqasusy dan Ma’mûn Shagharji) mengatakan, riwayat ini diriwayatkan oleh ath-Thabrâni, sedangkan para perawinya oleh al-Haitsami dikatakan sebagai para perawi yang dipakai dalam kitab Shahîh.
[5] al-Bidâyah wan Nihâyah (VIII/153 dst)
[6] Siyar A’lâm Nubalâ (III/292)
[7] Majmû’ Fatâwa, ( IV/ 507)
[8] Majmû’ Fatâwa (XXVII/465)
[9] Majmû’ Fatâwa (XXV/302)
[10] Majmû’ Fatâwa (IV/511)
(11) http://www.syiahindonesia.com
Suber : http://syaikhulislam.wordpress.com

Ada Apa Dengan IJABI ?

BEBERAPA DATA PENISTAAN AGAMA OLEH JALALUDDIN RAKHMAT, DKK. (Pengurus IJABI)


Oleh: KH. Muh Said Abd. Shamad, Lc
Muqaddimah
الحمد لله  و الشكر لله الصلاة و السلام على رسولله و على أله و أصحابه ومن ولاه .... أما بعد
Sesungguhnya Nabi saw telah memperingatkan para sahabat dan ummatnya tentang adanya perbedaan-perbedaan pendapat di dalam agama ini yang menyebabkan timbulnya berbagai aliran dan mazhab, dan bahwa diantara aliran dan mazhab itu ada yang sesat dan menyimpang yang berakibat neraka bagi penganutnya. Maka aliran dan mazhab yang benar dan selamat ialah yang mereka selalu berkomitmen berpegang teguh kepada sunnah Nabi saw dan sunnah para sahabat. Sabda Nabi saw:

...مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ

“Dan siapa yang hidup diantara kamu maka ia akan melihat perselisihan yang banyak maka ikutilah sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk.” {HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607), at Tirmidzi (no. 2676), ad Darimi (I/44), Al Hakim (I/95)}
Juga Nabi saw bersabda:

... وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

“Dan sesungguhnya agama ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan, 72 golongan tempatnya di dalam neraka dan hanya satu golongan di dalam surga, yaitu Al Jama’ah.” {HR. Abu Dawud (no.4597), Ahmad (IV/102), Al Hakim (I/128), Ad Darimi (II/241), Al Bani dalam Silsilah al Ahaadits Ash Shahihah (no. 203-204)}
Al Jama’ah yang merupakan satu-satunya golongan yang selamat dari Neraka, adalah Jalan yang ditempuh Rasulullah saw bersama seluruh sahabatnya sebagaimana sabda Rasulullah saw:

...كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً :مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku berjalan di atasnya” {HR. Tirmidzi (no. 2641), Al Hakim (I/129)}
Apa yang diprediksikan Nabi saw ini terbukti sejak dulu sepeninggal beliau saw sampai sekarang. Muncullah aliran-aliran yang menyimpang seperti Khawarij, Syi’ah, Jahmiah, Qadariah, Jabariah, Mu’tazilah, Murjiah dan lain-lainnya, dan sampai sekarang dengan nama yang sama atau dengan nama yang lain. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan wadah ormas-ormas Islam, termasuk Muhammadiyah dan NUsejak awal didirikannya tahun 1975 sampai sekarang, dalam rangka menjaga umat dari akidah dan pemahaman serta praktek keagamaan yang meyimpang, telah mengadakan rapat dan sidang yang berulang kali, sehingga berhasil merumuskan fatwa dan rekomendasi berkaitan dengan aliran-aliran yang menurut ajaran Islam yang murni yaitu Al Quran dan Hadis yang  berdasarkan pada pemahaman dan pengamalan para salafus saleh yang dekat masanya dengan Nabi saw seperti sahabat Nabi saw, tabi’in, tabi-it tabi in, termasuk para imam-imam yang mu’tabar seperti imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i,  Ahmad bin Hanbal serta imam-imam lainnya.
Maka untuk memudahkan kaum muslimin pada umumnya dan ormas Islam pada khususnya menyikapi aliran-aliran yang berkembang ditengah-tengah masyarakat sekarang ini,  maka kami memuat fatwa serta rekomendasi MUI tentang aliran Syiah dan Nikah Mut’ah dengan tambahan beberapa data dan informasi untuk lebih mengenal bahaya Syi’ah dan mewaspadainya dan surat edaran  Depag. No: D/BA.01/4865/1983, Desember 1983

Beberapa Data tentang Syi’ah di Makassar
Di Makassar ada ormas yang menganut paham Syi’ah, yaitu IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia), yang diantara tokoh dan penulisnya ialah Dr. Jalaluddin Rakhmat (JR)-Ketua Dewan Syuro IJABI-, Emilia Renita (Istri JR), Supa Atha’na (Direktur Iranian Corner UNHAS), Ismail Amin (Mahasiswa Univ. Islam Al-Mushthafa Iran). Mari kita ikuti beberapa kutipan dari pernyataan mereka
1.      Jalaluddin Rakhmat (JR) dan Emilia Renita

A.    Banyak tulisan, editan dan ceramahnya yang sangat menjelek-jelekkan sahabat dan tabiin bahkan melaknat dan mengkafirkan mereka, berdasarkan dalil (kutipan) yang lemah atau berdasarkan dalil yang dipahami secara salah atau data yang dimanipulasi, contoh:
a.       Syiah melaknat orang yang dilaknat Fatimah [1] Dan yang dilaknat Fatimah adalah Abu Bakar dan Umar.[2]
b.      Umar meragukan kenabian Rasulullah saw.[3]
c.       Para sahabat sering menentang pada saat Rasulullah saw masih hidup.[4]
d.      Utsman bin Affan bersama dengan sebagian besar sahabat lain lari dari medan perang uhud.[5]
e.       Para sahabat membantah perintah Nabi saw.[6]
f.       Para sahabat merobah-robah agama.[7]
g.      Para sahabat murtad.[8]
h.      Aisyah bermuka hitam, suka memoles pipinya dengan sejenis akar sebuah pohon sehingga berwarna merah, sehingga dengan itu beliau dijuluki Al Humairo (yang kemerah-merahan pipinya). Ia sangat pencemburu, dan suka membuat makar.[9] Na’udzu billah min dzalik
i.        Muawiyah tidak hanya fasik bahkan kafir, tidak meyakini kenabian.[10] Ia besama dengan Abu Sufyan dan Amr bin ash telah dilaknat oleh Nabi saw.[11]
j.        Abu Sufyan tidak percaya ada surga, neraka, hari perhitungan dan siksaan. Ia ingin memerangi Abu Bakar.[12]
k.      Khalid bin Walid membunuh Malik bin Nuwairah dan menikahi istrinya pada malam hari.[13]
l.        Amr bin Ash adalah anak dari hasil promiskuitas (ibunya digagahi oleh beberapa orang yang tidak jelas).[14]Ia membunuh Muhammad bin Abu Bakar, memasukkannya ke dalam perut bangkai dan membakarnya.[15]
m.    Ibnu Syihab Az Zuhri termasuk pencipta hadis maudhu’.[16]
n.      Said bin Musayyab tidak menyukai Ali bin Abi Thalib dan ia adalah khawarij munafiq.[17]
o.      Sufyan Ats Tsauri melakukan tadlis dan meriwayatkan dari para pendusta.[18]
p.      Marwan bin Hakam menyuruh Yazid untuk membunuh Imam Husein. Dialah yang bergabung dengan Muawiyah untuk membunuh para pecinta Ahlul Bait.[19]
q.      Tragedi Karbala merupakan gabungan dari pengkhianatan sahabat dan kelaliman musuh (Bani umayyah).[20]

B.     Banyak berbohong dalam tulisannya, sebagaiamana berikut:
a.       Sufyan Ats Tsauri melakukan tadlis dan meriwayatkan dari para pendusta.[21]
b.      Kontradiksi posisi Nabi Saw duduk di saat Abu Bakar jadi imam.[22]
c.       As-Sunh jauhnya puluhan kilometer.[23]
d.      Utsman tidak menikahi dua putri Nabi Saw, tapi dua wanita lain.[24]
e.       Muawiyah tidak suka mendengar adzan lantaran di dalam adzan disebut nama Nabi Muhammad Saw.[25]
f.       Di Harian Fajar[26] menghalalkan nikah mut’ah namun di Harian Tribun Timur[27] membantah menghalalkan nikah mut’ah.
g.      Perawi Shahih Muslim, Abdullah bin Wahab suka salah mengambil hadis.[28]
h.      Tidak ada yang bisa membaca di kabilah Bakr bin Wail.[29]
i.        Amr bin Ash tidak rela menghukum orang Nasrani yang mencaci-maki Nabi Muhammad saw karena dia tidak rela orang Nasrani dipukuli hanya karena memaki Nabi yang tidak dipercayainya.[30]
j.        Al Dzahabi (ulama’ yang hidup pada abad 8 Hijriyah) berbicara dengan Sahabat Rasulullah saw, Anas bin Malik ra (yang hidup di abad pertama hijriyah)[31]
k.      Kekejaman Muawiyah bin Abu Sufyan ketika berkuasa dan memerintah ulama untuk mengutuk Ali bin Abi Thalib di Mimbar-mimbar di setiap akhir khutbah mereka.[32]
l.        Rasulullah saw menangis karena berita dari Jibril bahwa cucunya akan dibunuh di Karbala.[33]
m.    Rumah Ali dan Fathimah dikepung, kemudian mereka disiksa seperti binatang.[34]
n.      Ali dikader khusus oleh Rasulullah saw dengan mengajarkannya berbagai macam ilmu (1000 bab ilmu pengetahuan) yang tidak diajarkan kepada sahabat yang lain untuk mempersiapkannya sebagai pelanjut misi yang akan meneruskan ajaran Islam sepeninggal Rasulullah saw.[35]
o.      Para Imam (versi Syi’ah) adalah Shirathal Mustaqim, Jalan yang lurus adalah jalannya Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.[36]
p.      Bani Umayyah (Umar bin Sa’ad, Zar’ah bin Syarik dll) membasmi mazhab dan keluarga Ali (Husein bersama keluarganya) di Karbala.[37]
q.      Bani Umayyah membid’ahkan bacaan basmalah dengan jahr (keras) dalam al Fatihah ketika shalat karena kebencian mereka terhadap Imam Ali.[38]

C.     Ajaran Syiah yang ia sebarkan melalui tulisan-tulisannya adalah ajaran SESAT sesuai 10 kriteria ajaran sesat yang ditetapkan oleh MUI pada tahun 2007, satu kriteria saja yang masuk dalam 10 kriteria di atas maka ajaran itu sudah bisa dikatakan sesat;

a.       Merobah-merobah Rukun Iman dan Rukun Islam. Rukun Iman Syiah 5 (lima) yaitu Tauhid, Adalah, Nubuwah, Imamah, Maad, sedangkan Rukun Islam (buatan Syiah) ada 10 (sepuluh).[39]
b.      Menafsirkan Alquran tidak sesuai dengan kaidah tafsir. Menafsirkan Ahlul Bait hanya Ali, Fatimah, Hasan dan Husein sampai imam 12-nya.[40]
c.       Mengubah, menambah dan mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah, seperti mengamalkan 3 kalimat syahadat ditambah dengan wa asyhadu anna ‘Aliyyan waliyyullah, shalat wajib hanya 3 waktu dan juga tidak shalat jum’at.[41]
d.      Mengkafirkan yang bukan golongannya. disebut: yang tidak mengenal Imam mati jahiliyah, mati jahiliah berarti mati tidak dalam keadaan Islam.[42]
e.       Meyakini atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i, seperti akidah mereka bahwa Rasulullah saw adalah tajalliyat (pengejawantahan) Allah sendiri[43]dan juga  bahwa para imam merekalah yang memiliki dunia dan akhirat[44] dan Para imam mereka mengetahui yang ghaib.[45]

D.     JR telah menghalalkan Nikah Mut’ah (baca: zina)  dan beberapa mahasiswa (i) mempraktekkannya sejak dulu sampai sekarang, di Bandung, Makassar dan kota lainnya,[46]padahal para ulama sejak dahulu sampai sekarang dan MUI Pusat telah memfatwakan haramnya Nikah Mut’ah. JR di harian Fajar menulis: “Nikah Mut’ah memang boleh saja dalam pandangan agama karena masih dihalalkan oleh Nabi saw. Dan apa yang dihalalkan oleh Nabi saw, maka itu berlaku sampai kiamat. Tapi secara sosial, Mut’ah belum bisa diterima”  (Fajar, 25 Januari 2009) Emilia menulis : “Seperti dijelaskan pada dalill-dalil di bawah ini, nikah mut’ah disyariatkan dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah. Semua ulama-apa pun mazhabnya-sepakat bahwa nikah mut’ah pernah dihalalkan di zaman Nabi saw. Mereka berikhtilaf tentang pelarangan nikah mut’ah. Syiah berpegang kepada yang disepakati dan meninggalkan yang dipertentangkan” (40 Masalah Syiah. Hal.217)

E.     Dr. Jalaluddin Rakhmat (JR, Ketua Dewan Syuro IJABI)  menulis dalam suatu makalahnya: “walhasil berdasarkan hadis ini dan banyak hadis yang tidak dicantumkan di sini, Syiah memilih Ahlul Bait sebagai rujukan mereka. Ahlus Sunnah memilih untuk mengikuti Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali mungkin dengan alasan-alasan tertentu. Saya tidak tahu apakah ada nash atau tidak untuk itu. Syiah memilih Ahlul Bait karena perintah Allah swt dan petunjuk Rasulullah saw, karena Al Quran dan Sunnah.” (Mengapa Kami Memilih Madzhab Ahlul Bait, hal 7). Jadi dapat dipahami mengikuti selain Ahlul Bait, seperti sahabat dan para imam yang empat tidak berdasarkan Al Quran dan Sunnah atau masih diragukan ada nash atau tidak untuk itu.

2.      Supa Atha’na
Supa Atha’na (Direktur Iranian Corner Unhas, tokoh IJABI) menulis di harian Tribun Timur: “ Allah Taala mabbarattemu Muhamma’ mappenedding Ali mappugau Patima ttarimai (Allah Ta’ala yang bersetubuh, Muhammad yang merasakan, Ali yang berbuat, Fatimah yang menerimanya).
 Antara Allah, Rasulullah, Ali dan Fatimah adalah sebuah kemanunggalan atau dalam istilah tasawwuf disebut wahdatul wujud. Pengertian sederhana wahdatul wujud adalah bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci”  (Tribun Timur, 23 Jan 2009, Assikalaibineng, Refleksi Pemikiran Muslim Persia). Masih dalam tulisan yang yang sama Supa juga menulis: “Menjadikan Ali sebagai rujukan ilmu memang sesuatu yang niscaya bagi yang mengaku sebagai umat Muhammad karena Nabi Muhammad SAW sendiri bersabda: “Ana madinatul ‘ilm wa aliun babuha (Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya)…Berdasarkan hadis, bila ingin masuk ke dalam kota ilmu maka adalah tindakan sopan dan santun harus masuk lewat pintu gerbangnya. Selain itu tercela”

3.      Ismail Amin
Ismail Amin (Mahasiswa Mostafa International University Islamic Republic of Iran) menulis di harian Tribun Timur: “Saya sulit menerima jika dikatakan tanggung jawab penjelasan syariat pasca Rasul jatuh ke tangan para sahabat, sementara untuk contoh sederhana, sahabat sendiri berbeda pendapat bagaimana cara Rasulullah melakukan wudhu dan salat yang benar, padahal Rasul mempraktikkan wudhu dan salat bertahun-tahun di hadapan mereka… Ataupun tanggung jawab penafsiran Al Quran jatuh kepada keempat imam mazhab yang untuk sekedar menafsirkan apa yang dimaksud debu pada surah Al-Maidah ayat 6 saja sulit menemukan kesepakatan” Kemudian lanjut Ismail Amin: “Karenanya hikmah Ilahi meniscayakan adanya orang-orang yang memiliki kriteria seperti yang dimiliki Nabi Muhammad saw… juga berpotensi mendapat ilmu langsung dari Allah swt, ataupun melalui perantara sebagaimana ilham yang diterima Siti Maryam dan ibu nabi Musa as (Lihat Qs. Ali Imran :42, Thaha:38).
Mereka menguasai ilmu Al Quran sebagaimana penguasaan nabi Muhammad SAW sehingga ucapan-ucapan merekapun merupakan hujjah dan sumber autentik ajaran Islam...
Dengan pemahaman seperti ini maka jelaslah maksud dari penggalan hadis Rasulullah, Kutinggalkan bagi kalian dua hal yang berharga, Al Quran dan Ahlul Baitku. (HR Muslim). Bahwa keduanya Al-Quran dan Ahlul Bait adalah dua hal yang tak terpisahkan hingga hari kimat, memisahkan satu sama lain akibatnya adalah kesesatan dan diluar dari koridor ajaran Islam itu sendiri.”  (Tribun Timur 24 Oktober 2008, Kembali Kepada Al Quran dan Ahlul Bait).  Karena para sahabat dan imam mazhab tidak dipercaya menjelaskan ajaran Al Quran pasca Rasul, maka satu-satunya yang dipercaya ialah para Ahlul Bait yang ajarannya tidak mengandung perselisihan dan percekcokan.

4.      Syamsuddin Baharuddin (Ketua IJABI SulSel)
1.      Mempopulerkan secara langsung atau tidak langsung Dr. Jalaluddin Rakhmat sebagai Guru Besar Komunikasi UNPAD Bandung (atau gelar Profesor), padahal menurut Prof.Dr. KH. Miftah Farid (ketua MUI Bandung), yang bersangkutan bukan guru besar UNPAD.
2.      Membantah bahwa JR dan IJABI tidak menjelek-jelekkan sahabat dan tidak menghalalkan nikah mut’ah,[47]padahal kedua hal itu, jelas dilakukan oleh JR dan IJABI.
3.      Ikut mendukung halalnya nikah mut’ah dengan mengatakan bahwa:” Janganlah kaum Sunni mengharamkan nikah mut’ah karena adanya wanita dan anak-anak yang terlantar, karena dalam nikah Sunni pun ada wanita dan anak-anak yang terlantar. Dan jika kaum Sunni mengatakan banyak hadis yang emlarang nikah mut’ah maka kami tegaskan bahwa kami memiliki segudang hadis yang menghalalkan nikah mut’ah. (Diskusi Ilmiah nikah mut’ah gedung IMMIM Ahad, 25-4-2010)
JR dalam kata pengantarnya terhadap buku “40 Masalah Syiah” yang menghalalkan nikah mut’ah berkata: “ secara khusus sebagai ketua dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) kami berikan buku ini kepada seluruh anggota IJABI sebagai pedoman dakwah mereka. (40 Masalah Syiah. hal. 13)




[1]
Emilia Renita AZ. 40 Masalah Syiah. Bandung: IJABI. Cet ke 2. 2009.  hal. 90
 [2]Jalaluddin Rakhmat. Meraih Cinta Ilahi. Depok: Pustaka IIMaN, 2008. hal. 404-405
 [3]Jalauddin Rakhmat. Sahabat Dalam Timbangan Al Quran, Sunnah dan Ilmiu Pengetahuan. PPs UIN Alauddin 2009. hal. 6
[4] Emilia Renita AZ. 40 Masalah Syiah. Bandung: IJABI. Cet ke 2. 2009. hal. 82
 [5]Ibid. hal 79. Meskipun mereka lari dari medan perang, namun Utsman bin Affan dan sebagian sahabat lainnya tidak pantas dicela dan disebut-sebut lagi sebagai oarng yang menentang perintah Rasulullah saw karena mereka sudah diampuni oleh Allah swt, silakan lihat QS. Ali Imran: 155
 [6]Jalauddin Rakhmat. Sahabat Dalam Timbangan Al Quran, Sunnah dan Ilmiu Pengetahuan. PPs UIN Alauddin 2009. hal. 7
[7]Jalaluddin Rakhmat. Artikel dalam Buletin al Tanwir Yayasan Muthahhari Edisi Khusus No. 298. 10 Muharram 1431 H.  hal. 3
 [8]Ibid. hal. 4
 [9]Ceramah Asyura Jalaluddin Rakhmat, Rec. 07 Arsip LPPI Perw. IndTim.
[10]Jalaluddin Rakhmat. Al Mushthafa (Manusia Pilihan yang Disucikan). Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008. hal. 24
 [11]Ibid. hal. 73
 [12]Emilia Renita AZ. 40 Masalah Syiah. Bandung: IJABI. Cet ke 2. 2009.   hal. 84
 [13]
[14]Jalaluddin Rakhmat. Al Mushthafa (Manusia Pilihan yang Disucikan). Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008.   hal. 14
 [15]Emilia Renita AZ. 40 Masalah Syiah. Bandung: IJABI. Cet ke 2. 2009.   hal. 84
 [16]Jalaluddin Rakhmat. Al Mushthafa (Manusia Pilihan yang Disucikan). Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008.  hal. 145
[17]Ibid. hal. 101
 [18]Ibid. hal. 138
 [19]Jalaluddin Rakhmat. Meraih Cinta Ilahi (Belajar Menjadi Kekasih Allah). Depok: Pustaka IIMaN, 2008.  hal. 495
[20]Ibid. hal. 493
[21]Jalaluddin Rakhmat. Al Mushthafa (Manusia Pilihan yang Disucikan). Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008. hal. 138
 [22]Ibid. hal. 91
 [23]Ibid. hal. 92
[24]Ibid. hal.164
 [25]Ibid. hal. 16
 [26]Minggu, 25 Januari 2009
[27]Selasa, 19 Juli 2011
 [28]Jalaluddin Rakhmat. Al Mushthafa (Manusia Pilihan yang Disucikan). Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008.   hal. 145
 [29]Ibid. hal. 113
[30]Ibid. hal. 15
[31]Ibid. hal. 19-20
 [32]Jalaluddin Rakhmat. Meraih Cinta Ilahi (Belajar Menjadi Kekasih Allah). Depok: Pustaka IIMaN, 2008. hal. 386 dan 471
 [33]Ibid. hal. 485-486
[34]Ibid. hal. 422-423
 [35]Ibid. hal. 388-390
 [36]Ibid. hal. 531
[37]Ibid. hal. 428
 [38]Jalaluddin Rakhmat. Al Mushthafa (Manusia Pilihan yang Disucikan). Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008. hal. 19
 [39]Emilia Renita Az. 40 Masalah Syiah. Bandung: IJABI. Cet ke 2. 2009.  Hal. 122,  rupanya mereka salah menulis angka dan menjadikan rukun Islam mereka lebih banyak yaitu 11, mungkin ingin kelihatan banyak .
[40]Jalaluddin Rakhmat. Mengapa Kami memilih Mazhab Ahlulbait a.s. Hal. 2
 [41]Fatwa MUI Sampang Madura tentang kesesatan Syiah (2 Januari 2012) yang dibawa Tajul Muluk.
 [42]Emilia Renita Az. 40 Masalah Syiah. Bandung: IJABI. Cet ke 2. 2009.  hal. 98
 [43]Jalaluddin Rakhmat. Meraih Cinta Ilahi (Belajar Menjadi Kekasih Allah). Depok: Pustaka IIMaN, 2008. hal. 31
[44]Emilia Renita Az. 40 Masalah Syiah. Bandung: IJABI. Cet ke 2. 2009. hal. 123
 [45]Ibid .hal. 125
 [46]lihat pasien terakhir dari buku “Mengapa Kita Menolak Syiah” LPPI Pusat Jakarta. Hal 270-273, dan Skripsi Fakultas Psikologi UNM Makassar 2011. “Perempuan dalam Nikah Mut’ah”
[47]Harian Fajar, Minggu 6 Februari 2011 dan Harian Tribun Timur, Selasa 19 Juli 2011