Sabtu

Sikap Muslim Terhadap Sunnah Nabi Shalallaahu alaihi wasalam

Sikap Muslim Terhadap Sunnah Nabi Shalallaahu alaihi wasalam

Sunnah Nabi Shalallaahu alaihi wasalam merupakan sumber hukum syari’at Islam yang ke dua setelah al Qur’anul Karim. Keberadaan sunnah bisa merupakan pendukung dan penguat kandungan al Qur’an. Bisa pula sebagai tafsir dan penjelasannya. Dan secara terpisah, as-Sunnah juga merupakan landasan tasyri’ (penetapan hukum) yang melahirkan berbagai hukum, serta merupakan nash (ketetapan) untuk menghalalkan ataupun untuk mengharamkan sesuatu yang tidak tercantum di dalam al Qur’an.
Namun sangat disayangkan, masih ada sebagian orang yang mengaku muslim, namun menolak sunnah secara total. “Al Qur’an telah cukup”, begitu kata mereka. Tidak diragukan lagi, anggapan dan ucapan seperti itu adalah kedustaan, bahkan dengan begitu mereka telah mendustakan al Qur’an dan sekaligus as Sunnah. Bukankah al Qur’an telah memerintahkan untuk mengambil apa saja yang datang dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dan menjauhi apa yang dilarang beliau? Sebagaimana firman Allah,
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. (QS. 59:7)
Ada pula kelompok tertentu yang memilah-milah Sunnah Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, yakni mengambil sebagian yang cocok dengan selera dan akalnya saja. Sementara apabila akal dan seleranya tidak cocok, maka dia tolak sunnah tersebut. Sikap seperti ini telah melanda seba-gian besar kaum muslimin. Bahkan terkadang -karena saking bodohnya- ia berani menentang sunnah, bahkan menghujatnya.
Ada juga kelompok yang menerima sunnah dan tidak menolaknya. Akan tetapi, memahaminya dengan berbagai ta’wil (interpretasi) yang jauh dari kebenaran. Seperti dilakukan oleh sekelompok orang yang silau kepada budaya barat (baca: Yahudi dan Nashara). Mereka menggulirkan faham sesat lagi memurtadkan, yaitu pluralisme dan inklusifisme. Faham ini menyejajarkan Islam dengan agama-agama lain. Semuanya diyakini benar dan diridhai Allah. Mereka tidak tahu atau pura-pura lupa dengan firman Allah,“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenar-nya)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. 2:120)
Sementara itu sebagian kaum muslimin juga ada yang menyikapi sunnah Nabi dengan sikap meremeh-kan. Kalau mereka diajak untuk melaksanakan sunnah Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, mereka beralasan, “Ah itu kan cuma sunnah. Padahal yang dimaksud sunnah di sini adalah hadits, perilaku dan jalan hidup Nabi Shalallaahu alaihi wasalam di dalam ber-Islam, yang boleh jadi itu adalah wajib diyakini dan wajib dilakukan, seperti shalat fardhu berjama’ah, berumah tangga sesuai tuntunan Islam, menjawab salam dan sebagainya. Orang seperti ini, telah salah persepesi, yakni beranggapan kalau menekuni sunnah nabi berarti mengubah hukum dari sunnah menjadi wajib. Demikian pula, jika mereka diingatkan supaya tidak melakukan perbuatan yang dibenci oleh syari’at, mereka berdalih, “Ini hanya makruh saja.”
Kepada mereka perlu ditanyakan, andaikan ada dua pilihan perbuatan, yang satu hukumnya sunnah dan yang lain adalah makruh, maka apakah masih juga memilih yang makruh daripada yang sunnah? Apakah ada shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam yang menanyakan sesuatu, kemudian setelah tahu bahwa itu sunnah mereka meninggalkannya? Dan ketika tahu, bahwa itu adalah makruh, kemudian mereka justru mengerjakan?”
Kedudukan As Sunnah di dalam Al Qur’an
Perlu diketahui bahwa patuh dan ta`at kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam adalah patuh dan tekun menjalankan Sunnahnya, mengamalkan. Dan patuh kepada Sunnah berarti patuh dan taat kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala . Berikut ini dalil-dalilnya:
Perintah ta`at kepada Allah dan kepada rasul-Nya, disebutkan secara bergandengan di dalam al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintahnya)” (QS. 8:20)
Dan di dalam ayat yang lain desebutkan, artinya:
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu” (Qs.8:24)
Allah menegaskan, bahwa petunjuk (hidayah) itu sangat tergantung kepada ketaatan dan ittiba’ kepada Nabi Nya.
“Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk” (QS. 7:158)
Dan firman Nya,
“Katakanlah, “Ta’atlah kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk” (An Nur: 54)
Allah telah menetapkan rahmat Nya bagi para pengikut Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, dan menjanjikan keberuntungan dan kesuksesan di dunia dan di akhirat atasnya.
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertaqwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”. (QS. 7:156)
Dalam kelanjutan ayat di atas disebutkan,
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi …. Hingga pada firman Allah, “Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an). Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. 7:157)
Sahnya iman seseorang sangat tergantung kepada kepatuhan terhadap keputusan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, menerima dan lapang dada atas keputusan itu.
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa kebera-an dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. 4:65)
Di dalam ayat yang lain Allah menegaskan,
“Kemudian jika kamu berlainan penda-pat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemu-dian.” (QS. 4: 59)
Demikian pula firman Allah di dalam surat al Ahzab ayat 36, dan selainnya.
Allah telah memperingatkan bahwa menyelisihi Rasul Shalallaahu alaihi wasalam merupakan sebab kehancuran dan terjerumus dalam fitnah. Sebagaimana yang telah difirmankan,
Artinya, “Maka hendaklah orang- orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. 24:63)
Orang yang tidak mengikuti jalan rasulullah, niscaya menyesal pada Hari Kiamat kelak, sebagaimana Allah berfirman,
Artinya, “Dan (ingatlah) hari (ketika) orang yang zalim itu menggigit dua tangannya, seraya berkata, “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan (yang lurus) bersama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku; Kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan jadi teman akrab(ku).” (QS. 25:27-28)
Allah telah menetapkan bahwa cinta Allah dan ampunan-Nya hanya bisa diraih dengan mengikuti Rasul -Nya:
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 3:31)
Demikian penjelasan dari al-Qur’an yang mengajak kita semua kaum muslimin untuk berpegang kepada sunnah Nabi Shalallaahu alaihi wasalam . Karena segala ucapan beliau yang berkaitan dengan agama bukanlah berasal dari kemauan hawa nafsunya, tetapi atas bimbingan wahyu Allah.
Penjelasan dari As Sunnah (Hadits)
Amat banyak hadits Nabi yang memerintahkan setiap muslim untuk mengikuti sunnah Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, dan melarang berbuat bid’ah (menyelisihi sunnah). Di antara sabda Nabi yang menegaskan hal itu adalah:
Sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam,
Artinya, “Seluruh umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan.” Lalu ditanyakan, Siapakah yang enggan wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Barang siapa yang taat kepadaku, maka masuk surga, dan barang siapa yang bermaksiat kepada-ku maka dia telah enggan (masuk surga)” (HR. Al Bukhari)
Sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam,
Artinya, “Biarkan aku dengan apa yang telah kutinggalkan untuk kalian (terimalah ia), sesungguhnya yang telah membinasakan orang sebelum kalian adalah (disebabkan) mereka banyak bertanya dan banyak menyelisihi nabi mereka. Jika aku melarang kalian dari mengerjakan sesuatu maka jauhilah, dan jika aku memerintahkan sesuatu maka laksanakanlah sesuai kemampuan kalian.” (Muttafaq Alaih)
Sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam (dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah), di antara potongannya,
“Hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ ar Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham (perpegang eratlah terhadapnya), dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Abu Dawud dan at Tirmidzi dan berkata at Tirmidzi, “Hasan Shahih”)
Sikap Shahabat Nabi terhadap As Sunnah
Berkata Abu Bakar as Shiddiqz, “Tiada sesuatu pun yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, kecuali aku melakukannya dan tidak pernah aku meninggalkannya. Aku khawatir jika aku meninggalkan sedikit saja yang beliau perintahkan, maka aku akan menyimpang.”
Berkata Umar bin Khaththab Radhiallaahu anhu ketika memegang hajar aswad, “Sung-guh aku tahu engkau hanyalah batu yang tidak memberi madharat dan manfaat, kalau bukan karena aku melihat Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam menciummu, maka tentu aku tidak akan menciummu.”
Ali bin Abi Thalib Radhiallaahu anhu berkata, “Aku tidak pernah meninggalkan sunnah Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam karena ucapan seseorang”
Abdullah Ibnu Mas’ud mengatakan, “Sederhana dalam melaksanakan sunnah, lebih baik daripada banyak dan giat di dalam melakukan bid’ah.”
Ibnu Umarzapabila sedang meniru Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam , maka orang yang melihatnya mengira ada sesuatu yang tidak beres padanya (seperti tidak wajar). Bahkan Nafi’, maula (klien) beliau mengatakan, “Kalau aku melihat Ibnu Umar sedang mengikuti sunnah Nabi SAW sungguh aku mengatakan, ini adalah sesuatu yang gila.”
Ibnu Abbas juga pernah berkata, “Wahai manusia, aku khawatir kalau turun hujan batu dari langit, (lantaran) aku katakan pada kalian sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, lalu kalian menyanggah dengan mengatakan “Abu Bakar berkata begini dan Umar berkata begitu!.”
Wallahu a’lam

Aku Terpaksa Menikahimu dan Akhirnya Aku Menyesal

Akhirnya Aku Menyesal
Aku Terpaksa Menikahimu dan Akhirnya Aku Menyesalkhoirunnisa-syahidah.blogspot.com - Kisah “aku terpaksa menikahimu dan akhirnya aku menyesal” adalah kisah rumah tangga yang sangat memberi pelajaran bagi kita semua. Penyesalan yang datangnya hanya pada akhir karena keterpaksaan.
***
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.


Setelah menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.


Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.


Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.


Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.


Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.


Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.


“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”


“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku.


Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.
Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.


Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.


Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.


Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.


Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.


Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja.

Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku. 
“Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!”

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajeri oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
***
Begitulah penyesalan sang istri akhirnya, dia menangis dan menyesal. Ketika suaminya telah tiada, dia baru sadar betapa besarnya cinta suaminya kepada dia. Semoga hal ini tidak terjadi lagi dalam kehidupan sekarang tetapi hanya cintanya saja yang akan terjadi.
 
Dipublikasikan oleh berbagai sumber

sepakbola adalah sebuah industri Pengalih isu


Oleh Fahrur Rozi 

Hampir Bisa dipastikan yang menjadi tranding topic dunia -setidaknya untuk tiga pekan kedepan- adalah perhelatan akbar Euro Cup 2012 di Polandia-Ukraina. Bukan ‘pembakaran’ 120 anak-anak dan wanita di Haula Suriah oleh rezim Assad, bukan pula Resesi Ekonomi Dunia yang membuat perhelatan Piala Eropa terancam batal. Pun juga untuk di dalam negeri pemberitaan dan perbincangan tentang Euro 2012 dipastikan akan lebih ramai daripada kasus megakorupsi Hambalang, even MTQ di Ambon, kasus Narkoba, atau kasus Kelangkaan Elpiji melon. Mengapa bisa demikian? Jelas karena Bola tak sebatas Olahraga. Sepak bola adalah industri, sepakbola adalah entertainment paling profitable dan lebih menarik lagi sepakbola adalah Pengalih isu. Pegalih isu bagi rakyat jelata yang telah lelah dijubeli dengan kebohongan dan derita. Pengalih isu yang digunakan para penguasa supaya leluasa menipu dan berbuat angkara murka.

Euro 2012 bak oase di padang pasir yg menyamankan fisik dan batin. Turnamen sepak bula empat tahunan ini ‘pengalih isu’ yang efektif untuk para penyuka bola. Paling tidak selama 3 pekan media dan ruang public kita tidak akan didominasi oleh wacana dan aksi destruktif elit penguasa. Mengapa sebuah turnamen olahraga bisa mengalihkan perhatian jutaan mata? bisa jadi karena even ini lebih terlihat riil daripada konstelasi social-politik di negeri ini yang semu dan menipu. Kita hanya perlu melihat perpindahan bola dari kaki ke kaki tidak seperti pemberitaan kasus korupsi Hambalang yang muter sana-sini ujung-ujungnya hilang tertelan bumi persis sebagaimaan digambarkan dalam iklan, ‘ Kasus korupsi hilaang!.’ Tidak seperti pilunya nasib anak-anak bangsa karena pemerintahnya yang sudah tak peduli dengan mengguritanya narkoba, judi dan senjata api. Hasil pertandingan sepak bola jelas terpampang pada papan skor. Akan tetapi komitmen pemerintah untuk memberantas narkoba misalnya tidak jelas juntrungannya. Di mulut perangi narkoba tapi aksinya memberi Gerasi kepada Shepelle Corby sang ratu ganja. Aneh!

Baik Di Eropa maupun di negeri ini demam bola juga dijadikan sebagai pengalih isu. Masyarakat Eropa yang sedang marah kepada pemerintah kapitalisnya karena krisis berkepanjangan tentu butuh hiburan dan obat penenang. Dan para kapitalis eropa lagi-lagi mendapat momentum emasnya yakni perhelatan akbar sepakbola. Nasib eropa memang ironis dan kronis. Angka pengagguran mencapai 27 juta orang. Spanyol misalnya yang merupakan juara bertahan Euro Cup sedang diambang kebangkrutan. Tingkat pengangguran di negeri itu mencapai 24%.

Hal sama juga terjadi di negeri ini. Perhatian public dan media tersedot membahas bola. Euforia Euro 2012 mampu mengalihkan isu. Mengalihkan dari permasalahan kegagalan penguasa mengurus negara dan rakyat. Mengalihkan dari masalah Korupsi, kriminalitas tinggi sampai masalah sakit gigi. Di sinilah peran media sekuler sangat besar. Rating tayangan euro 2012 melonjak tinggi karena kolaborasi tiga serangkai; public yang butuh hiburan, penguasa yang butuh alat pengalih perhatian, dan media yang butuh penghasilan.

Yang Lebih mengkhawatirkan lagi adalah efek jangka panjang. Teramat riskan Jika masyarakat mudah sekali dialihkan perhatiannya. Masyarakat seperti ini oleh professor politik Benedict Enderson (1983) disebut sebagai Imagined Communities. Masyarakat yang tidak memiliki pendirian, tidak memiliki kekuatan sehingga mudah diperdaya.

Sah-sah saja Menikmati hiburan akan tetapi tetap harus sesuai aturan, proporsional dan tidak kelewatan.
Jangan sampai untuk bangun subuh susahnya minta ampun akan tetapi bangun untuk nonton bola gampang. Aneh jikalau Ibadah malas tetapi nonton bola semangat. Lebih jauh lagi jangan sampai perhelatan sepak bola, konser musik, atau apapun namanya mengalihkan kita dari kehidupan nyata. Masalah korupsi, kriminalitas, kemiskinan dan sebagainya tidak akan selesai dengan menonton bola. Masalah tersebut akan terselesaikan jika kita aktif berjuang menyelesaikan itu semua dengan aturan yang benar yakni aturan islam. Oleh karenanya terlibat aktif dalam perjuangan penegakan syariah islam dalam bingkai Khilafah adalah pilihan paling tepat dan rasional untuk kita lakukan saat ini. Jangan mau hanya menjadi penonton. Di negeri ini, penonton berpotensi kehilangan banyak hal; hilang uang (untuk tiket), hilang malu (karena jauh dari sportivitas), bahkan bisa hilang nyawa (selama bulan juni ini saja ada 4 penonton yang tewas di stadion, metrotvnews.com). Oleh karena itu jadilah pemain dalam kehidupan sekaligus actor kemenangan. Jikalau sewaktu-waktu menjadi penonton (semisal menonton Piala Eropa) maka jadilah penonton yang bijak sekaligus kritis. Jadi jelas, Jangan teralihkan! Orang yang teralihkan perhatiannya biasanya akan ketinggaan kereta...

Hukum Menjadi TKW di Luar Negeri