“Seandainya dunia sebanding dengan satu
sayap sayap lalat di sisi Allah, niscaya Dia tidak akan memberikan seteguk air
pun bagi seorang kafir” (HR. At-Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan
shahih”)
Baru saja
para orang tua disibukkan oleh agenda “mencarikan sekolah” untuk putra-putrinya
yang akan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Sungguh melelahkan dan
menegangkan, apalagi bagi anak yang nilainya pas-pasan. Sang Bapak dan Anak
harus kesana-kemari sambil mencari informasi setiap harinya. Tidak hanya satu
formulir yang diambilnya, sebagai alternatif bila sekolah pilihan pertama tidak
dapat diraih. Fenomena ini terjadi setiap tahun, termasuk oleh sebagian besar
kaum muslimin. Banyak pendaftar yang diterima dan akan berhadapan dengan biaya
sekolah yang cukup besar. Namun ada juga yang tidak diterima sehingga harus
memutar haluan hidup. Secara umum, hanya ada satu motivasi yang terbersit di
hati mereka, yaitu : anakku harus menjadi orang sukses!
Sukses yang
hakiki adalah berhasil menjalani hidup ini untuk mendapatkan syurga-Nya. Berapa
banyak orang tua memandang bahwa kesuksean itu adalah dengan nilai duniawi.
Lihatlah hadits di atas, bagaimana nilai dunia ‘tidak lebih berharga dari sayap
seekor nyamuk!!’. Hingga tujuan mereka menyekolahkan anak-anaknya ialah agar
mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Mereka lupa akan tujuan menuntut ilmu
ialah harus ikhlas karena Allah dan agar generasi kita tidak berada dalam
kebodohan. Hanya Allah-lah tempat memohon pertolongan.
Mereka lupa
bahwa Islam sebagai agama paripurna telah memberikan perhatian yang besar
terhadap kesuksesan, yaitu dengan ilmu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala
: “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara
kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS.
Al-Mujadilah: 11).
Juga sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Menuntut ilmu itu wajib
(hukumnya) atas setiap muslim” (Shahihul Jami’ 3913)
Yang
dimaksud dalam hadits ini adalah menuntut ilmu syar’i. Kewajiban menuntut ilmu
ini mencakup seluruh individu Muslim dan Muslimah, baik dia sebagai orang tua, anak,
karyawan, dosen, Doktor, Profesor, dan yang lainnya. Yaitu mereka wajib
mengetahui ilmu yang berkaitan dengan muamalah mereka dengan Rabb-nya, baik
tentang Tauhid,
rukun Islam, rukun Iman, akhlak, adab, dan mu’amalah dengan makhluk.
Namun ketahuilah
kaum muslimin yang semoga Allah rahmati, bahwa Islam membagi ilmu berdasarkan
hukumnya sebagai berikut:
Pertama: Ilmu Dien, yang terbagi menjadi:
- Ilmu dien yang hukumnya Fardlu ‘Ain (wajib dimiliki oleh setiap orang), yaitu: Ilmu tentang akidah berupa rukun iman yang enam, dan ibadah, seperti thoharoh, sholat, shiyam, zakat, dan ibadah wajib lainnya.
- Ilmu dien yang hukumnya Fardlu Kifayah (harus ada sebagian orang islam yang menguasai, bila tidak ada maka semua kaum muslimin di tempat itu berdosa), yaitu: ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fara’idh, ilmu bahasa, dan ushul fiqh.
Kedua: Ilmu Duniawi, yaitu segala ilmu
yang dengan ilmu tersebut tegaklah segala maslahat dunia dan kehidupan manusia,
seperti: ilmu kedokteran, pertanian, ilmu teknik, perdagangan, militer, dan
sebagainya. Menurut ‘ulama, hukum ilmu duniawi adalah fardlu kifayah.
Dengan
demikian, islam adalah agama ilmu, ilmu kemaslahatan hidup di dunia maupun
akhirat. Namun seiring dengan pergeseran tujuan hidup manusia, motivasi
menuntut ilmupun mulai bergeser. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia mulai
condong kepada ilmu duniawi dan menomor duakan, bahkan melupakan ilmu dien
(agama). Entah kekhawatiran apa yang membayangi manusia sehingga mereka lebih
mementingkan ilmu dunia dari pada ilmu dien, padahal Allah subhanahu wata’ala
berfirman:
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” (QS. Ar Rum:7)
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” (QS. Ar Rum:7)
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata: “Umumnya manusia tidak memiliki ilmu melainkan ilmu duniawi. Memang
mereka maju dalam bidang usaha, akan tetapi hati mereka tertutup, tidak bisa
mempelajari ilmu dienul islam untuk kebahagiaan akhirat mereka.” (Tafsir
Ibnu Katsir 3/428)
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata: “Pikiran mereka
hanya terpusat kepada urusan dunia sehingga lupa urusan akhiratnya. Mereka
tidak berharap masuk surga dan tidak takut neraka. Inilah tanda kehancuran
mereka, bahkan dengan otaknya mereka bingung dan gila. Usaha mereka memang
menakjubkan seperti membuat atom, listrik, angkutan darat, laut dan udara.
Sungguh menakjubkan pikiran mereka, seolah-olah tidak ada manusia yang mampu
menandinginya, sehingga orang lain menurut pandangan mereka adalah hina. Akan
tetapi ingatlah! Mereka itu orang yang paling bodoh dalam urusan akhirat dan
tidak tahu bahwa kepandaiannya akan merusak dirinya. Yang tahu kehancuran
mereka adalah insan yang beriman dan berilmu. Mereka itu bingung karena
menyesatkan dirinya sendiri. Itulah hukuman Allah bagi orang yang melalaikan
urusan akhiratnya, akan dilalaikan oleh Allah ‘azza wa jalla dan tergolong orang
fasik. Andaikan mereka mau berpikir bahwa semua itu adalah pemberian Allah
‘azza wa jalla dan kenikmatan itu disertai dengan iman, tentu hidup mereka
bahagia. Akan tetapi lantaran dasarnya yang salah, mengingkari karunia Allah,
tidaklah kemajuan urusan dunia mereka melainkan untuk merusak dirinya sendiri.”
(Taisir Karimir Rahman 4/75)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang pandai dalam urusan dunia namun bodoh dalam urusan akhiratnya.” (Shahih Jami’ Ash Shaghir)
“Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang pandai dalam urusan dunia namun bodoh dalam urusan akhiratnya.” (Shahih Jami’ Ash Shaghir)
Maukah kita
disebut bodoh oleh Sang Khaliq…??
Akankah kita
bergelimang dalam kebodohan ilmu dien (agama), padahal kebodohan adalah sebuah
kejumudan? Lalu, tidakkah kita ingin sukses dan jaya di negeri akhirat nanti?
Apa yang menghalangi kita untuk segera meraup ilmu dien (agama), sebagaimana
kita berambisi meraup ketinggian ilmu dunia karena tergambar kesuksesan masa
depan kita?
Syaikh
Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, seorang ‘ulama kontemporer telah mengumpulkan
keutamaan ilmu, khususnya ilmu dien untuk mendongkrak motivasi kita yang begitu
lemah. Mari kita simak!
- Bahwa ilmu dien adalah warisan
para Nabi, warisan yang lebih berharga dan lebih mulia dibanding segala
warisan. Rasulullah telah bersabda:
“Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barang siapa mengambilnya (warisan ilmu), sungguh ia telah mengambil keuntungan yang banyak”. (Shahihul Jami Al Albani : 6297) - Ilmu itu akan kekal sekalipun
pemiliknya telah mati, tetapi harta akan berpindah dan berkurang bahkan
jadi rebutan bila pemiliknya telah mati. Kita pasti mengetahui Abu
Hurairah –semoga Allah meridlainya- seorang yang diberi julukan “gudangnya
periwayat hadits”.
Dari segi harta, beliau tergolong kaum kaum papa (fuqoro’), hartanya pun
telah sirna, tetapi ilmunya tidak pernah sirna. Kita masih tetap
membacanya. Inilah buah dari Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam:
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631) - Ilmu, sebanyak apapun tak menyusahkan pemiliknya untuk menyimpan, tak perlu gudang yang luas untuk menyimpannya, cukup disimpan dalam dada dan kepalanya. Ilmu akan mejaga pemiliknya sehingga memberi rasa aman dan nyaman, berbeda dengan harta yang bila semakin banyak, semakin susah menyimpannya, menjaganya, dan pasti membuat gelisah pemiliknya.
- Rasulullah shallallahu
‘alaihiwasallam menggambarkan para pemilik ilmu itu ibarat lembah yang
bisa menampung air yang bermanfaat bagi alam sekitar, sebagaimana sabda
beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Perumpamaan dari petunjuk ilmu yang aku diutus dengannya bagaikan hujan yang menimpa tanah, sebagian di antaranya ada yang baik (subur), yang mampu menampung air dan menumbuhkan tetumbuhan dan rumput-rumputan yang banyak, di antaranya lagi ada sebagian tanah keras yang mampu menahan air yang dengannya Allah memberikan manfaat kepada manusia untuk meminum, mengairi tanaman, dan bercocok tanam…..” (HR. Bukhari & Muslim) - Ilmu adalah jalan menuju surga
(jannah), tiada jalan pintas menuju surga kecuali dengan ilmu. Sabdanya shallallahu
‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang ‘alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh, ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.” (HR. Muslim) - Ilmu merupakan pertanda
kebaikan seorang hamba. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Siapa yang Allah kehedaki baginya kebaikan, akan dipahamkan baginya masalah dien (agama)” (HR. Bukhari)
Problem
terbesar di kalangan ummat ini adalah kebodohan terhadap agamanya. Maka
diperlukan usaha nyata untuk memecahkan problem tersebut, yaitu dengan ilmu.
Dan ilmu tersebut hanya akan didapat majelis ilmu yang didalam dikatakan
“Firman Allah, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
perkataan para sahabat –semoga Allah meridlai mereka semua-”. Tanpa melalaikan
ilmu dunia, ilmu agama harus diprioritaskan karena hukum dan manfaatnya jauh
lebih tinggi dibanding ilmu duniawi. Hal inilah yang sekarang ini terbalik.
Ummat lebih mementingkan ilmu dunia dan cenderung melupakan ilmu dien. Padahal
tidak ada obat bagi kebodohan kecuali dengan ilmu. Kebodohan dalam hal apapun!
Bahkan ketika di antara kita ada yang mengatakan “kita harus seimbang antara
dunia dan akhirat”.
Maka pada
hakikatnya perkataan itu hanyalah usaha untuk menutupi kebodohan terhadapa ilmu
dien. Bagaimana dikatakan seimbang, dikala dia tidak mengetahui syarat Laa
Ilaha Illallah serta pembata-pembatalnya, konsekuensi 2 kalimat syahadat,
rukun-rukun shalat,
dan ilmu-ilmu dasar lainnya. Sementara dia mengetahui sekian banyak ilmu dunia,
akuntansi, geografi, matematika, kimia dan ilmu yang bersifat duniawi secara
mendetail. Bukanlah hal tercela diantara kita mendalami ilmu tersebut, namun
yang dicela adalah ketika ilmu-ilmu tersebut mereka kuasai, tapi ilmu dien
adalah nol besar jika tidak mau dikatakan minus.
Demikianlah
beberapa mutiara ilmu (dien) yang jauh lebih mulia dari harta. Sebenarnya masih
banyak keunggulan lainnya yang tidak termuat dalam tulisan sederhana ini.
Karena itu mari kita gali ilmu dien secara benar dari sumbernya, yaitu
Al-Quran dan As-sunnah melalui pemahaman para salafush shalih
(pendahulu yang shalih). Jangan lupakan mutiara berharga dalam hidup ini.
Wallaahu
waliyyut-taufiq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar